Penafian
Artikel ini mungkin berisi materi berhak cipta, yang penggunaannya mungkin tidak diizinkan oleh pemilik hak cipta. Materi ini disediakan dengan tujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan. Materi yang terdapat dalam situs web Astra Agro didistribusikan tanpa mencari keuntungan. Jika Anda tertarik untuk menggunakan materi yang memiliki hak cipta dari materi ini dengan alasan apapun yang melampaui ‘penggunaan wajar’, Anda harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari sumber aslinya.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa minyak sawit merupakan bahan baku energi baru terbarukan (EBT), yang paling memungkinkan untuk menggantikan posisi bahan bakar fosil.
“Hasil assesment yang dilakukan oleh tim energi terbarukan BRIN, minyak sawit merupakan bahan yang paling memungkinkan untuk dikembangkan,” kata Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN Yudhistira Nugraha di Jakarta, dikutip dari Antara, Minggu (3/3/2024).
Ia mengatakan, ada tiga faktor yang menjadi alasan minyak sawit potensial, yaitu kesiapan bahan baku, kesiapan teknologi dan hilirisasi, serta kebijakan pemerintah baik dari segi insentif, pendanaan, dan investasi.
Menurut Yudhistira, Indonesia merupakan penghasil minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) terbesar di dunia dengan produksi diperkirakan mencapai 44,2 juta ton.
“Potensi tersebut merupakan sumber yang sangat melimpah untuk digunakan sebagai sumber biodisel,” tutur Yudhistira.
Tak hanya itu, dari Antara (10/3/2020), Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia dengan lebih dari 700 perkebunan kelapa sawit. Total luas lahan sawit sekitar 14,68 juta hektar, dimana 40 persennya dimiliki oleh petani kecil.
Menurut data Kementan tahun 2017, potensi pengembangan sawit adalah 35 juta ton CPO, 146 juta ton TBS, dan 26,3 juta ton TBK. Mayoritas produksi sawit Indonesia diekspor dan menghasilkan devisa lebih dari 20 Miliar USD per tahun.
Pemerintah Tengah Konversi Bahan Bakar Minyak
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa pemerintah sudah dan sedang menjalankan konversi bahan bakar minyak berbasis CPO, yaitu biodiesel B20 dan B30, serta ke depannya B100 (green solar).
Kendati demikian, Yudhistira menyampaikan tantangan dari produksi bahan bakar berbasis minyak sawit adalah tingginya biaya investasi.
“Pengembangan teknologi produksi biofuel atau bahan bakar nabati berbasis minyak sawit mentah memerlukan biaya investasi yang tinggi, sehingga hal itu menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan bahan bakar alternatif tersebut,” tutur dia.
Yudhistira menuturkan, pengembangan co-processing dalam memproduksi biofuel berbasis CPO perlu didorong agar dapat mewujudkan kemandirian energi di dalam negeri.
“Efisiensi produksi fossil fuel saat ini masih lebih tinggi daripada biofuel, itu perlu dipertimbangkan terkait green inflation, sehingga perlu kebijakan hati-hati dalam penerapan secara nasional agar tidak mempengaruhi keseluruhan perekonomian nasional,” terangnya.
Seperti dilaporkan Kompas.com (10/6/2023), limbah cair yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit merupakan salah satu sumber potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai energi terbarukan.
Saat ini, proyek teknologi pengembangan biogas dari limbah kelapa sawit yang sudah diterapkan pada skala pilot plant antara lain pengembangan PLTBg kapasitas 1 megawatt (MW) oleh PT Perkebunan Nusantara V.
Selain itu, ada co-firing boiler dengan teknologi CSTR kapasitas rata-rata 150 Nm3/jam serta pemurnian biogas menjadi biometana dengan kemurnian 95 sampai 98 persen dan bioCNG bertekanan 200 bar.
Sumber: Lestari.kompas.com