Penafian
Artikel ini mungkin berisi materi berhak cipta, yang penggunaannya mungkin tidak diizinkan oleh pemilik hak cipta. Materi ini disediakan dengan tujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan. Materi yang terdapat dalam situs web Astra Agro didistribusikan tanpa mencari keuntungan. Jika Anda tertarik untuk menggunakan materi yang memiliki hak cipta dari materi ini dengan alasan apapun yang melampaui ‘penggunaan wajar’, Anda harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari sumber aslinya.
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31,89 persen pada 2030. Industri sawit memiliki berbagai strategi membantu pencapaian target tersebut.
Dalam seminar yang diselenggarakan GAPKI “Percepatan Peningkatan Pemanfaatan Gas Metana di Pabrik Kelapa Sawit sebagai Sumber Listrik, Bio-CNG dan Hidrogen” pada Rabu (31/01/2024), Sekretaris Jenderal Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) M. Hadi Sugeng menyatakan untuk mencapai target pemerintah dalam penurunan emisi dibutuhkan bantuan dari berbagai pihak. Menurutnya salah satu yang paling potensial adalah dari sektor industri kelapa sawit.
“Untuk mencapai target ini perlu dukungan dan sinergi dari sektor swasta termasuk di dalamnya industri kelapa sawit. “Jadi industri sawit dapat mengelola limbahnya untuk menghasilkan gas methana yang bisa diubah menjadi sumber energi terbarukan,” Sekretaris Jenderal Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) M. Hadi Sugeng saat membuka acara Seminar Nasional Percepatan Peningkatan Pemanfaatan Gas Metana di Pabrik Kelapa Sawit Sebagai Sumber Listrik, Bio-CNG dan Hidrogen di Jakarta, Rabu (31/1/24).
Seminar ini menghadirkan pembicara antara lain Edi Wibowo (Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM RI), Ansori Nasution (Peneliti PPKS), Ipan Manalu (Manager Operational Biogas Power Plant-Belitung PT. Austindo Aufwind New Energy), Setyoadi Purwanto (Project Management Section Head PT Dharma Satya Nusantara Tbk), dan Dr. Petrus Gunarso (Pakar Lingkungan)
Berdasarkan data tahun 2022 industri kelapa sawit dan pengolahannya menjadi penyumbang devisa terbesar negara di luar sektor pertambangan. Selain itu devisa yang dihasilkan di tahun itu mencatatakan angka yang paling besar sepanjang sejarah, yaitu USD 39,07 miliar atau sekitar Rp 600 triliun.
Potensi industri kelapa sawit juga sangat besar, sebab telah diekspor ke 160 negara. Sedangkan luas perkebunan sawit mencapai 16,38 juta hektare. Kemudian sekitar 41 persen dari total lahan tersebut diolah dan dimiliki oleh perkebunan rakyat.
“Saat ini produk olahan sawit telah diekspor kelebih dari 160 negara dengan luas perkebunan sawit yang mencapai 16,38 juta hektare, sekitar 41 persen diolah dan dimiliki oleh perkebunan rakyat,” ujar Hadi.
Potensi yang besar ini berbarengan juga dengan jumlah emisi yang dihasilkan dari perkebunan dan industri pengolahan sawit. Tanaman kelapa sawit menghasilkan biomassa di luar batang dari kegiatan peremajaan sawit sebesar 18-20 ton per hektare per tahun. Namun, sebagian kecil dari biomassa ini masih harus diolah agar memenuhi syarat COD dan BOD untuk dilepaskan ke badan air atau dimanfaatkan sebagai pupuk.
Hadi menjelaskan bahwa tanaman kelapa sawit menghasilkan biomassa, seperti pelepah, tandan kosong, fiber, cangkang. Dalam proses produksi CPO (Crude Palm Oil) sebagian kecil biomassa ini terbawa dalam limbah cair dan harus dibusukan agar limbah cair memenuhi syarat Chemical Oxygen Demand (COD) dan Biochemical Oxygen Demand (BOD) untuk dapat dilepaskan ke badan air atau dimanfaatkan sebagai pupuk. Proses pembusukan ini menghasilkan gas metana yang merupakan salah satu penyumbang global warming dengan potensi 27,9 kali dariemisi CO2.
Sumber: Sawitindonesia.com