KABUPATEN Pasangkayu terbentuk menjadi daerah otonomi baru (DOB) berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004, merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat.
Saat menjadi DOB, Kabupaten Pasangkayu bernama Kabupaten Mamuju Utara. Berubah nama menjadi Kabupaten Pasangkayu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2017.
Luas wilayah Kabupaten Pasangkayu 3.043,75 kilometer-2 (km2) dengan ibukota kabupaten di Kelurahan Pasangkayu. Memiliki sumber daya alam (SDA) menjanjikan pada sektor pertanian, perkebunan serta perikanan terus berbenah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Letak wilayah geografis Kabupaten Pasangkayu berbatasan di sebelah selatan Kabupaten Mamuju Tengah, sebelah timur Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan, sebelah utara Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, dan sebelah barat Selat Makassar.
Kabupaten Pasangkayu memiliki 12 kecamatan dengan 63 desa/kelurahan. Panjang garis pantai sekitar 157 km didiami beragam masyarakat dari 14 suku, sehingga Kabupaten Pasangkayu memiliki potensi budaya dan pariwisata menjanjikan untuk dikelola secara optimal dalam peningkatan ekonomi masyarakat.
Saat ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pasangkayu melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) serta instansi lainnya terus menggali potensi sumber daya alam dimiliki dalam meningkatkan perekonomian warga.
Potensi itu terus dikembangkan melalui usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) atau ekonomi kreatif serta pengembangan home industri seperti pembuatan abon ikan, keripik jamur dari tangkos (tandan kosong) sawit, keripik pisang dan ubi serta lainnya.
Pengembangan UMKM dan ekonomi kreatif berbasis pariwisata juga mulai berkembang di Kabupaten Pasangkayu. Banyak lapak jualan masyarakat di tempat-tempat wisata menawarkan berbagai macam makanan atau kuliner (makanan tradisional).
Potensi Wisata di Kabupaten Pasangkayu
Seperti di Kelurahan Pasangkayu, banyak warga atau wisatawan lokal berkunjung ke Bundaran Smart, Pantai Vova Sanggayu, Pantai Maleo, dan Pantai Tanjung Babia menikmati kuliner yang disiapkan para pedagang.
Ketiga pantai di Kelurahan Pasangkayu sebagai pusat rekreasi warga di kota kabupaten, merupakan tempat favorit wisatawan lokal berkunjung untuk bersantai bersama keluarga atau kerabatnya.
Pantai Vova Sanggayu dan Maleo, ramai dikunjungi di sore dan malam hari. Berbagai kuliner dijajakan pedagang, termasuk memanjakan mata pengunjung dengan keindahan alam di sore hari untuk memandangi sunset.
Pantai Maleo terdapat wahana permainan ramah anak, masjid terapung, sepasang pohon bakau yang sudah berusia puluhan tahun tumbuh di lepas pantai dinamakan Vova Sanggayu, termasuk berbagai fasilitas olahraga seperti lapangan basket dan lainnya, serta patung burung Maleo merupakan satwa dilindungi dan salah satu burung khas di Kabupaten Pasangkayu.
Untuk Pantai Tanjung Babia, ramai dikunjungi pada akhir pekan. Berbagai kuliner dijual dan terdapat sekitar 40 lapak pedagang melayani pengunjung dengan makanan tradisional seperti jepa terbuat dari sagu dan ubi kayu dipadukan dengan ikan masak atau ikan bakar dengan harga terjangkau.
Selain ke tiga pantai di Kelurahan Pasangkayu, juga terdapat tempat wisata pantai lainnya seperti Pantai Kuma dan Cinoki di Kecamatan Sarudu memiliki pasir putih, laut biru dengan panorama alam yang indah, dan terdapat batu besar di pinggir pantai sebagai tempat berswafoto atau selfie.
Di Kecamatan Bambalamotu, terdapat Pantai Koa-Koa memiliki daya tarik dengan panjang garis pantai sekitar 2 km. Dan dijadikan sebagai event perlombaan gerobak dengan ditarik dua ekor sapi merupakan angkutan tradisional warga mengangkut hasil bumi seperti kelapa dalam dan sebagainya.
Sementara Pantai Tanjung Batu Oge di Kecamatan Pedongga, daya tariknya karena di tepi pantai terdapat dua batu besar ditumbuhi pepohonan memiliki cerita tersendiri bagi masyarakat setempat, dan lautnya juga bisa dilakukan diving atau menyelam.
Kabupaten Pasangkayu juga mememilki wisata alam air terjun, seperti air terjun Saluwu dan Watu di Kecamatan Bambalamotu memiliki pemandangan alam yang asri, serta air terjun Ho’ di Kecamatan Bulu Taba memiliki panorama alam natural.
Juga terdapat wisata alam lainnya di Kabupaten Pasangkayu, yakni Goa Gumbasalu di Kecamatan Bambalamotu, Goa Lawah di Kecamatan Pasangkayu, Goa Kapaha dan Goa Lambara di Kecamatan Baras, Goa Ape dan Telaga Ape di Kecamatan Bambaira.
Untuk wisata hutan mangrove, dapat ditemui hampir disemua pantai di Kabupaten Pasangkayu, dan terdekat dari kota kabupaten adalah wisata mangrove Tanjung Bakau Desa Ako, memiliki panorama hutan bakau (mangrove) dengan berbagai habitat hewan dan burung.
Wisata Budaya Suku Bunggu
Selain wisata alam, di Kabupaten Pasangkayu juga terdapat wisata budaya masyarakat komunitas adat terpencil (KAT) yakni Suku Inde etnis Bunggu, namun pada umumnya masyarakat di Kabupaten Pasangkayu mengenalnya Suku Bunggu atau To Bunggu (orang Bunggu).
Dalam pengertian bahasa masyarakat Suku Inde atau Suku Da’a, Bunggu itu adalah pegunungan, sementara Binggi adalah pesisir atau pantai.
Sebelum memasuki akhir tahun 1980-an, kehidupan masyarakat Bunggu masih berpindah-pindah tempat di wilayah pegunungan Kabupaten Pasangkayu dengan mengandalkan hidupnya pada alam.
Dahulu, komunitas masyarakat Bunggu berpindah dari tempat ke tempat lainnya, mereka (Bunggu) juga bercocok tanaman seperti menanam padi, jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian.
Untuk pasokan sumber protein, mengandalkannya dari berburu serta menangkap ikan, karena di tempat pemukiman barunya, komunitas masyarakat Bunggu membangun rumahnya di atas pohon tak jauh dari sungai sekaligus sebagai sumber air.
Salah seorang komunitas Suku Bunggu alami bermigrasi (berpindah-pindah tempat) dan saat ini selaku Tetuah (orang tua) Suku Bunggu, Panggo (78) telah tinggal menetap di Desa Ngovi, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
Panggo bersama komunitas Bunggu lainnya dulu menetap di Bampa Apu, Desa Pakawa berjarak sekitar 38 km dari ibukota Kabupaten Pasangkayu.
Seiring berjalannya waktu, dirinya lebih memilih menetap di Desa Ngovi dengan jarak sekitar 5 km dari perkampungan masyarakat Bunggu di Bamba Apu.
Kehidupan Panggo tidak seperti dulu lagi, karena di rumahnya telah dialiri listrik dan berbagai fasilitas elektronik lainnya, termasuk memiliki kendaraan motor, dua unit mobil jenis pick up Toyota Hilux dan dump truck Toyota Dyna digunakan untuk mobilisasi hasil perkebunannya.
Saat ini Panggo bertani sawit merupakan binaan PT Pasangkayu anak usaha PT Astra Agro Lestari (AAL) Tbk Group Area Celebes 1 mendapat bantuan dari perusahaan perkebunan kelapa sawit melalui kemitraan program Income Generating Activity (IGA).
Ditemui di kediamannya di Desa Ngovi, Panggo tidak mempersilahkan saya masuk kedalam rumah tinggalnya, melainkan mempersilahkan saya naik ke rumah panggung berukuran 6×12 meter merupakan tempat pertemuan atau acara adat Bunggu yakni Bantaya.
Di atas rumah panggung, saya melihat di belakang rumah Bantaya berjarak sekitar 10 meter, terdapat sungai sebagai bukti dulunya ini merupakan wilayah pemukiman masyarakat Bunggu saat masih bermigrasi.
Di Bantaya, berbagai macam dipajang. Seperti piagam penghargaan sebagai kelompok tani pemasok tandan buah segar (TBS) sawit terbanyak ke PT Pasangkayu. Juga ada foto Panggo bersama pejabat daerah termasuk berfose bersama mantan Administratur (ADM) PT Pasangkayu, Dani Sitorus.
Paling menyita perhatian saya di samping tangga rumah Bantaya, di gantung tiga buah gendang dengan diameter bervariasi. Dan saya mulai membuka percakapan dengan Panggo.
“Gendang itu digunakan saat pesta adat kami. Gendang itu juga dipinjam untuk digunakan masyarakat Bunggu lainnya di wilayah Kabupaten Pasangkayu saat melaksanakan acara adat. Kami memiliki empat gendang, satu diantaranya ada di Tosonde,” ungkap Panggo.
Saya meminta kesediaan Panggo agar mengenakan pakaian adat Bunggu. Panggo pun mengiyakan, dan turun ke rumah kediamannya mengambil perlengkapan pakaian adat.
Sekitar 10 menit, Panggo kembali menaiki anak tangga rumah Bantaya dengan pakaian lengkap, parang dalam sarungnya di ikat di pinggangnya dan menenteng tombak, ibaratnya seorang prajurit siap bertempur di medan perang.
Ia pun mulai bercerita, inilah pakaian yang kami gunakan dahulu terbuat dari kulit pohon kayu.
“Baju ini digunakan hampir setiap saat. Pada saat pesta adat, baru dipakai semuanya, mulai dari baju, selempang, siga, dan celana,” terang Panggo.
Menurutnya, dahulu kelompok masyarakat Bunggu saat masih berpindah-pindah di hutan-hutan pegunungan Kabupaten Pasangkayu, bermukim sambil bercocok tanam dengan bergantung pada musim (cuaca).
“Pemukiman di bangun tak jauh dari sungai dan membuat rumah diatas pepohonan agar terhindar dari serangan binatang buas. Kami menanam kacang-kacangan, umbi-umbian, jagung, termasuk padi. Kami juga hidup dari alam seperti berburu dan menangkap ikan di sungai,” tutur Panggo.
Dirinya menjelaskan, saat kelompok kami berpindah (bermigrasi), kami sudah menyiapkan bibit tanaman yang kami sisakan merupakan pilihan dari panen sebelumnya sebagai bekal kami saat tiba di tempat yang baru untuk di tanam kembali.
Sambung Panggo, atau kami simpan benih dalam bambu, lalu kami mencari lubang kayu yang tinggi untuk menyimpannya. Gunanya, suatu saat kami kembali ke tempat itu, kami tidak repot lagi menyiapkan benih tanaman.
“Jadi nanti sekitar tahun 1988, pemerintah mengumpulkan kami komunitas masyarakat Bunggu menetap di satu tempat agar tidak berpindah-pindah lagi. Perkampungan pertama masyarakat adat Bunggu di Tosonde, Desa Kalola, Kecamatan Bambalamotu,” jelas Panggo.
Di tahun 1990, banyak di antara komunitas Bunggu meninggalkan Tosonde dan tujuannya untuk tinggal menetap di perkampungan baru, namun lokasi yang dituju merupakan tempat bermigrasi masyarakat Bunggu terdahulu.
Panggo sendiri dengan beberapa masyarakat Bunggu lainnya memilih menetap di Bamba Apu, Desa Pakawa.
“Tahun 1990, saya dengan beberapa keluarga lainnya meninggalkan Tosonde menuju Bamba Apu. Adik saya yang perempuan dan beberapa keluarga lainnya tetap bertahan di Tosonde,” katanya.
Selain kami menetap di Bamba Apu, banyak juga masyarakat Bunggu lainnya ke tempat tujuan baru, seperti di Kaluku Nangka, Bambarano, Saluwira, Wulai, Duria Sulapa, Tapalili, Kalibamba, dan Puenje.
“Dua tahun kemudian atau di tahun 1992, saya bersama Petrus sepupu saya membuka perkampungan baru di Ngovi. Ada juga ke Salurayya, Bambamone, Masia, Nagaya, Wai Suba, Lala, Siwata dan Batu Ike,” kenang Panggo.
Untuk acara adat atau pesta adat Bunggu, kata Panggo, dahulu kami gelar usai panen raya di bulan April atau Mei dengan cara bergotong royong. Pesta adat biasanya kami laksanakan dua atau tiga hari, tergantung kondisi dan kesiapan kami.
“Kalau pesta adat dua hari, biasanya kami tidak membuat api unggun (berjalan diatas bara api), namun juga bisa kami laksanakan, karena itu berjalan diatas bara api atas permintaan bila ada (orang) yang sakit ingin diobati melalui ritual adat,” katanya.
Pelaksanaan pesta adat, sambung Panggo, di hari pertama, seluruh komunitas kami memasak di kediamannya masing-masing, dan sore harinya di bawah ke Bantaya dikumpulkan.
“Saat malam tiba, kami gelar ritual dipimpin tetuah adat. Setelah itu, atas perintah tetua adat, kami makan bersama. Usai makan, dilaksanakan hiburan menari disebut Rego diiringi nyanyian atau Rano juga diiringi nyanyian, namun saat ini diganti dengan dero sebagai rasa syukur atas hasil panen. Hiburan Rego ini, biasanya para muda-mudi mendapatkan jodoh,” urainya.
Keesokan harinya atau hari kedua, kata Panggo, masyarakat kembali memasak di rumahnya masing-masing, namun masakannya cepat di bawah ke Bantaya sebelum siang hari.
“Di Bantaya, digelar doa dipimpin tetuah adat lalu makan bersama. Setelah itu, dilakukan potong gigi (aqiqah) bagi anak-anak, lalu dituntun tetua adat menuruni anak tangga Bantaya. Setibanya di tanah, anak-anak yang sudah potong gigi belum sah sebelum memegang tombak yang tertancap di hewan sebagai ritual adat, dan nanti dagingnya dibagikan ke masyarakat Bunggu lainnya,” katanya.
Nah, kata Panggo, puncak pesta adat ini disaat matahari diatas ubun-ubun, api unggun yang telah disiapkan dibakar, diiringi lantunan bunyi gendang.
“Penabuh gendang adalah laki-laki dikelilingi perempuan. Saat api unggun padam telah menjadi bara api, para lelaki menari disebut motaro diatas bara api sambil memegang parang atau tombak. Mereka itu kerasukan, sehingga tidak merasakan panasnya bara api,” kata Panggo sambil tertawa lalu menyirih pinang.
Ditanya mengenai kehidupannya saat ini, Panggo mengatakan kalau bertani sawit tergabung di salah satu kelompok tani binaan PT Pasangkayu melalui program IGA.
“Saat ini saya berkebun sawit. Syukurlah, dengan adanya perusahaan PT Astra ini, kehidupan kami masyarakat Bunggu lebih baik. Saya memiliki motor, mobil pick up dan dump truck hasil bertani sawit. Mobil disopiri cucu saya digunakan mengangkut hasil kebun kelapa sawit untuk dijual di pabrik PT Pasangkayu,” katanya.
Tak hanya dirinya saja bertani sawit, Panggo menyebutkan sudah banyak masyarakat Bunggu lainnya saat ini mengandalkan kehidupannya dari bertani sawit.
“Masyarakat Bunggu sudah banyak bertani sawit dan ada juga tergabung dalam kelompok tani mitra binaan PT Pasangkayu, dan sudah memiliki kendaraan sendiri,” sebutnya.
Panggo menyampaikan akan dilaksanakan pesta adat Bunggu. Silahkan temui Benyamin, rumahnya di samping Bantaya Tosonde, Desa Kalola, dan Benyamin selaku pelaksananya.
“Kami harap budaya Suku Bunggu dapat dilestarikan oleh para pemuda kami atas dukungan pemerintah. Kita akan mati, namun budaya ini harus tetap hidup untuk dilestarikan,” pintanya.
Berselang beberapa hari, saya ke Tosonde untuk menemui salah seorang tokoh pemuda Suku Bunggu, Benyamin.
Setibaku di Tosonde, langsung mencari Bantaya sesuai petunjuk Panggo. Namun Benyamin tidak ada dirumah dan menyampaikan ke istrinya kalau kedatanganku atas penyampaian Panggo untuk menemui suaminya.
“Bapak lagi ke kebun, nanti saya telpon bapak agar cepat kembali kerumah,” ujar istri Benyamin. Sayapun menyampaikan ke istri Benyamin, nanti saya menunggu di bale-bale dekat Bantaya.
Saya kemudian ke bale-bale dekat Bantaya untuk beristirahat. Nampak disekelilingnya deretan rumah masyarakat Bunggu.
Di bale-bale, saya berbincang-bincang dengan seorang pemuda tak lain adalah putra Benyamin, mengatakan kalau rumah kakeknya dahulu di belakang Bantaya, namun kini menjadi kebun kelapa sawit dan kelapa dalam serta tanaman kakao.
Disela perbincangan, mata saya tertuju kebun belakang Bantaya. Nampak sekumpulan anak-anak berjalan kaki melewati Bantaya. Dan sayapun bertanya, mereka itu dari mana, dijawab putra Benyamin kalau mereka dari sungai mandi-mandi di belakang Bantaya.
Perkebunan dibelah oleh sungai di belakang Bantaya, lagi-lagi bukti kalau dahulu tempat ini merupakan pemukiman masyarakat Bunggu yang menggantungkan hidupnya pada alam.
Sekitar satu jam, istri Benyamin mendatangiku dan mempersilahkan ke rumahnya, karena suaminya telah datang dari kebun. Saya pun beranjak menuju rumah Benyamin.
Setibaku depan pintu, Benyamin (42) menyambut dan mempersilahkan masuk ke dalam rumahnya. Dan sudah mengetahui maksud dan tujuanku.
Ia menyampaikan kalau dirinya adalah anak dari saudari Panggo dan akan melaksanakan pesta adat, namun harinya atas persetujuan Panggo.
“Saya adalah keponakan Om Panggo, bersaudara dengan mama saya. Rencana pesta adat ini tetap saya koordinasikan dan atas persetujuan Om Panggo selaku tetua adat Bunggu,” paparnya.
Benyamin bercerita tentang alur pesta adat masyarakat Bunggu, sama dengan yang disampaikan Panggo.
“Kata Om Panggo, ada satu gendang disini,” ujarku menyela pembicaraan. Ditimpali Benyamin kalau gendang itu di rumah mamanya, tepat berada di samping rumah Benyamin.
“Gendang itu terbuat dari kayu jenis uru dilubangi menggunakan pahat. Dahulu sebelum ada pahat, gendang dilubangi menggunakan bara api, dan lubangnya itu baru bisa tembus seminggu kemudian, pengikatnya dari rotan menggunakan kulit hewan Anoa atau Rusa untuk ditabuh,” ungkap Benyamin.
Benyamin berharap, agar pemerintah dapat membantu melestarikan budaya masyarakat Bunggu, khususnya memfasilitasi pelaksanaan pesta adat.
“Selaku pemuda penerus komunitas Suku Bunggu, tentu kami punya keterbatasan, sehingga diharapkan pemerintah untuk membantu kami melestarikan budaya Bunggu khususnya dalam pelaksanaan pesta adat,” harapnya.
Tampil di Taman Mini, Orang Eropa Ingin Kembangkan Budaya Bunggu
Di tahun 2005, pemerintah pusat mengundang tiap provinsi dan kabupaten baru terbentuk menjadi DOB untuk mengirimkan delegasinya tampil di acara budaya berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.
Termasuk Kabupaten Pasangkayu (Mamuju Utara saat itu) juga mendapat undangan dari pemerintah pusat agar menampilkan budayanya, sehingga Pemkab Pasangkayu mempercayakan kepada masyarakat adat Bunggu berangkat ke Jakarta.
Sebanyak 5 orang masyarakat Bunggu dipimpin Jaya salah seorang tokoh masyarakat adat Bunggu juga selaku Kepala Desa (Kades) Pakawa saat itu berangkat ke Jakarta didampingi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Kabupaten Pasangkayu, Ardhilla.
Jaya (57) mengatakan, saat itu dirinya dihubungi Kepala Bappeda Pasangkayu, Ardhilla agar mempersiapkan tim sebanyak 5 orang dan peralatan yang akan di bawah ke Jakarta untuk tampil di acara budaya di Taman Mini.
“Saat itu saya Kepala Desa Pakawa, mendaftarkan 4 orang. Jadi jumlahnya 5 orang dengan saya untuk ikuti acara budaya di Taman Mini,” kata Jaya di kediamannya di Bamba Apu.
Menurutnya, kami berangkat didampingi Pak Ardhilla lewat Kota Palu menggunakan pesawat ke Jakarta, membawa pakaian adat, gendang, arang sekitar 10 kilogram (kg), tombak terbuat dari kayu dan parang.
“Acara dilaksanakan di aula atau gedung serbaguna Taman Mini. Kami ini tampil paling terakhir. Setelah daerah lainnya tampil dan kami mempersiapkan diri, banyak orang menarik-narik kami untuk berfoto,” tutur Jaya sambil tersenyum.
Saat kami tampilkan budaya adat motaro, kata Jaya, arang kami letakkan ditempat yang sudah disiapkan, kira-kira berukuran 4×6 meter kemudian disiram minyak tanah lalu dibakar, dan seketika itu juga api menyala berkobar.
Sambung Jaya, gendang pun langsung dipukuli, satu orang memegangnya dan dua orang menabuh adalah Mei, Yombo dan Mikia.
“Gendang sudah berbunyi, tak lama kemudian Yadi langsung melompat ke dalam api seperti belut berliuk-liuk di atas bara arang. Tak lama kemudian, saya juga melakukan hal yang sama seperti Yadi hingga kobaran dan bara api semuanya padam baru kami berhenti,” kata Jaya.
Masih kata Jaya, budaya adat motaro dulu digelar untuk mengobati potaro atau orang sakit yang sudah lama dideritanya, dan atas permintaannya diobati, maka dilaksanakan adat motaro.
“Sesaat setelah gendang berbunyi, tak lama kemudian kami lompat berjalan atau meliuk-liuk seperti belut diatas bara api. Itu kami tidak rasakan panas, karena kami tidak sadar, sebab kami kerasukan,” kata Jaya, salah satu dari sekian masyarakat Bunggu alami bermigrasi.
Untuk pakaian adat masyarakat Bunggu, kata Jaya, terbuat dari kulit kayu dengan menggunakan batu ike mengolahnya, mulai menguliti kulit kayu, lalu ditumbuk-tumbuk, dan batu ike ini juga digunakan menumbuk jagung atau padi.
Jenis kayu digunakan kulitnya, Jaya menjelaskan, adala kayu malo atau tea untuk membuat pakaian seperti baju, pengikat kepala bagi wanita atau topi buat laki-laki disebut siga, selempang disebut sinde, sarung disebut buya, pakaian dalam seperti koteka suku Asmat di Papua disebut pevo dan celana disebut foruka.
“Proses pembuatannya, kayu dikuliti, baru di rendam tiga malam, lalu dipukul-pukul atau ditumbuk-tumbuk disebut mantutu hingga halus kemudian dijemur satu jam. Setelah itu dijahit menggunakan tali dari kayu jenis suka, namun kini sudah menggunakan benang,” katanya.
Batu ike ini, kata Jaya, gesturnya tidak keras sehingga mudah untuk diolah menjadi kerajinan tangan, bisa digunakan sebagai bahan baku membuat pernak pernik seperti gelang atau patung, tergantung dari kreativitas kita membuatnya.
“Nanti batu ike ini mengeras dan tidak mudah pecah seperti batu pada umumnya setelah dimasak. Jadi setelah batu ike ini dibuat gelang, barulah dimasak, agar mengeras untuk dipakai,” katanya.
Saya pun bertanya, apakah Bunggu ini adalah Suku Da’a, Jaya mengatakan, kami ini bukan Suku Da’a, kami Suku Inde.
“Kami ini adalah Suku Inde Bunggu atau Suku Inde etnis Bunggu, sebab kami hidupnya di pegunungan, dan bukan Binggi, sebab Binggi itu hidupnya di pantai atau pesisir,” terangnya.
Saat dirinya masih kepala desa, Jaya menggelar pertemuan di kantor Desa Pakawa pada bulan Oktober 2021 lalu, dihadiri tokoh-tokoh adat Bunggu seperti Panggo dan Kepala Dusun Lala, Kristia serta lainnya.
Dalam pertemuan itu, Jaya menyampaikan, kalau orang tuanya bercerita, kita ini Suku Inde Bunggu, namun di sanggah oleh Kristia mengatakan, dirinya juga diceritakan orang tuanya kalau dia adalah Suku Da’a Bunggu.
“Namun Pak Panggo membantah pernyataan Kristia saat itu, dan mengatakan kalau kita ini adalah Suku Inde Bunggu, dan semua yang hadir menyepakatinya,” kata Jaya.
Kemudian saya menanyakan aktivitasnya saat ini setelah dirinya tidak lagi menjabat kepala desa.
Ia menyampaikan kalau saat ini bertani sawit dan anggota kelompok tani Bamba Apu merupakan mitra program IGA PT Mamuang anak usaha PT Astra Agro Lestari.
“Banyak masyarakat Bunggu di Desa Pakawa maupun tempat lainnya mendapat bantuan kemitraan melalui program IGA dari PT Astra. Seperti kelompok tani Harapan Bersama di Bamba Apu, merupakan mitra program IGA PT Pasangkayu,” papar Jaya.
Kata Jaya, saat ini mayoritas masyarakat Bunggu bertani sawit, dan kehidupannya sudah lebih baik dengan memiliki fasilitas seperti kendaraan.
“Jadi kami masyarakat Bunggu pada umumnya bertani sawit, dan kami jual hasilnya di pabrik PT Pasangkayu. Selain itu, di Bamba Apu ini terdapat kelompok budidaya jamur dari tangkos sawit binaan PT Pasangkayu dikelola ibu-ibu,” katanya.
Sementara Ardhilla saat ini menjabat Kepala Dinas Perumahan dan Pertanahan Kabupaten Pasangkayu mengatakan, saat dirinya Kepala Bappeda mendampingi masyarakat Bunggu tampil di acara budaya di Taman Mini di tahun 2005.
“Saya meminta Jaya agar mempersiapkan tim sebanyak 5 orang, termasuk perlengkapannya untuk ditampilkan di acara budaya di Taman Mini,” kata Ardhilla di ruang kerjanya.
Menurutnya, acara dilaksanakan selama dua hari dengan menampilkan budaya dari daerah baru mekar, seperti Provinsi Sulawesi Barat menampilkan 5 budaya daerah dari 5 kabupaten saat itu. Sementara kabupaten DOB lainnya juga tampil walaupun masuk di provinsi statusnya bukan provinsi baru.
“Awalnya Jaya beserta teman-temannya malu, karena melihat budaya daerah lain pesertanya mengenakan seragam kekinian. Saya mensupportnya agar jangan malu, karena kita ini tampil beda dengan seragam terbuat dari kulit kayu,” tutur Ardhilla.
Ia juga mengingatkan Jaya bersama teman-temannya, bahwa dirinya lahir dan besar di Jakarta, jadi buat apa malu untuk menampilkan budaya adat Bunggu di hadapan penonton dan tamu undangan.
“Saya ini Pak Jaya lahir dan besar disini (Jakarta). Jadi jangan malu untuk tampilkan budaya kita (adat Bunggu) dengan menggunakan seragam dari kulit kayu,” cerita Ardhilla.
Jaya dan bersama-bersama rekan-rekannya mendapatkan giliran terakhir untuk menampilkan budaya adat Bunggu.
“Terbukti, walau kita tampil paling akhir, namun mendapatkan aplaus dari penonton dan tamu undangan perwakilan Duta Besar (Dubes) untuk Republik Indonesia. Mereka (Jaya dan temannya) dikerumuni, baik sebelum dan sesudah tampil untuk diminta foto bersama,” semangat Ardhilla bercerita.
Disaat beristirahat, kata Ardhilla, beberapa turis dari Eropa mendatangi kami, dan menawarkan untuk membeli pakaian yang dikenakan Jaya dan temannya, namun Jaya enggan menjualnya.
“Diantara turis itu ada berkebangsaan Portugis (Portugal), menawarkan untuk bekerja sama mengembangkan budaya adat Bunggu dan berkeinginan menjadikannya destinasi wisata budaya setelah saya menyampaikan secara singkat kehidupan dan budaya masyarakat Bunggu saat masih bermigrasi,” kata Ardhilla.
Ardhillah mengungkapkan, saat menjabat Kepala Dinas Sosial Kabupaten Pasangkayu di tahun 2008, ia mendampingi Tim Jelajah Trans7 TV berkunjung ke pemukiman masyarakat Bunggu di Desa Pakawa.
“Saat itu saya bersama Tim Jelajah Trans7 TV menyimpan kendaraan di Bamba Apu, kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki dengan menelusuri jalan setapak sejauh sekitar 10 km ke perkampungan Bunggu di Batu Ike dekat dari sungai dan bermalam disana,” ungkapnya.
Jadi, kata Ardhilla, budaya Suku Bunggu ini menyimpan potensi tak ternilai apabila dibangun secara baik dengan pola manajemen profesional di era serba digital ini, dan merupakan kearifan lokal.
“Saya berkeyakinan, apabila kita ekspose terus, maka budaya Bunggu ini dikenal oleh dunia, sehingga dengan sendirinya masyarakat global (dunia) akan berbondong-bondong berkunjung ingin tahu dan melihat langsung serta merasakan kehidupan budaya Bunggu,” katanya.
Hanya saja, kata Ardhillah, perlu keuletan dan kesabaran serta inovasi membangun peradaban budaya adat Bunggu ini, seperti membangun perkampungan masyarakat Bunggu yang natural dan eksotis sebagai tempat tujuan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Ardhillah mencontohkan, kita bisa melihat masyarakat Suku Sasak di Lombok, Suku Nias, Bali dan Toraja, kita buat perkampungan Bunggu ini dipinggiran sungai di Batu Ike.
“Dibuatkan perkampungan dengan membangun rumah diatas pohon, buat kerambah ikan di sungai, menata lahan untuk ditanami kacang-kacangan dan umbi-umbian serta kandang hewan ternak,” paparnya.
Saat tanaman waktunya dipanen, kata Ardhilla, maka pesta adat Bunggu juga dipersiapkan untuk digelar.
“Jadi disitulah kalender (waktu) kunjungan wisatawan untuk menyaksikan dan melihat langsung serta merasakan kehidupan budaya adat Bunggu yang natural,” paparnya.
Ardhillah mengemukakan, di lingkungan pemukiman Bunggu itu, kita juga bangun kios atau stand untuk menjual merchandise berupa kerajinan tangan masyarakat Bunggu.
“Kerajinan itu seperti kalung dan gelang terbuat dari manik-manik serta pakaian kulit kayu, juga membangun teknologi peralatan digunakan masyarakat Bunggu saat masih bermigrasi,” ujarnya.
Lanjut Ardhilla, peradaban dibangun dari budaya yang positif, dan dilihat kekuatan budaya mereka (adat Bunggu), dimanfaatkan untuk menjadi starting point (melancarkan propaganda) bagi dunia internasional menuju masyarakat Bunggu diera masa depan.
“Ini merupakan salah satu pembangunan berkelanjutan bagi daerah kita Kabupaten Pasangkayu, dan salah satu jalan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bunggu khususnya,” ungkap Ardhillah berkeyakinan.
Hal itu sejalan dengan program Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), bahwa desa wisata merupakan program unggulannya dengan fokus untuk melakukan scaling up (meningkatkan) dari desa rintisan menjadi desa mandiri.
Desa wisata merupakan rural tourism (wisata pedesaan) yang akan diprioritaskan Kemenparekraf, karena termasuk dalam pariwisata berkualitas dan berkelanjutan. (*)
Sumber: Trans89.com