Penafian
Artikel ini mungkin berisi materi berhak cipta, yang penggunaannya mungkin tidak diizinkan oleh pemilik hak cipta. Materi ini disediakan dengan tujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan. Materi yang terdapat dalam situs web Astra Agro didistribusikan tanpa mencari keuntungan. Jika Anda tertarik untuk menggunakan materi yang memiliki hak cipta dari materi ini dengan alasan apapun yang melampaui ‘penggunaan wajar’, Anda harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari sumber aslinya.
TEMPO.CO, Nusa Dua – Direktur Godrej Internasional, Dorab Mistry, mengatakan Indonesia menjadi titik sentral dari faktor-faktor yang menentukan harga minyak nabati, Hal ini, menurutnya, karena Indonesia merupakan ekportir sawit terbesar dunia.
“Belum lagi dengan adanya ancaman dampak el nino, sehingga reaksi Indonesia terhadap kondisi pasar menjadi sangat penting,” ujar Mistry saat berbicara tentang “Global Vegetable Oil Prices Amid Market Uncertainty” dalam acara IPOC 2023 di The Westin Resort, Nusa Dua, Bali, Jumat, 2 November 2023.
Sementara secara makro, kata Mistry, harga untuk tahun depan dipengaruhi oleh perkembangan suku bunga The Fed, kemungkinan resesi tahun 2024, berakhirnya perang di Ukraina dan Gaza, dan perkembangan harga dolar Amerika Serikat (dolar AS).
“Di sisi lain, jumlah pasokan minyak nabati serta mandatori biofuel di Indonesia dan negara lainnya seperti Brazil akan sangat menentukan besarnya kebutuhan minyak nabati global,” tuturnya.
Dalam acara yang sama, peneliti minyak nabati global dari Oil World Thomas Mielke mengatakan, kelapa sawit Indonesia telah menyumbang 54 persen dari ekspor dunia. “Namun penurunan produksi kelapa membuat daya saing minyak nabati tersebut di pasar global menjadi memburuk,” katanya.
Mielke pun memprediksi penurunan ekspor tersebut masih akan terjadi selama dua tahun ke depan seiring dengan turunnya produksi sawit Indonesia. Dengan perkiraan ini, ia mengatakan akan terjadi kenaikan pada harga minyak nabati.
“Peningkatan yield per hektar di tengah keterbatasan lahan akibat adanya kebijakan moratorium harus segera dilakukan jika Indonesia tetap ingin menjadi produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia,” ujar peneliti minyak dunia itu.
Sumber: Tempo.co