Kompas | Rabu, 21 Maret 2018
KOMODITAS
Negosiasi Menjadi Bagian dari Strategi
JAKARTA, KOMPAS Strategi diplomasi perdagangan minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya harus berlapis. Strategi tidiik hanya berupa negosiasi, tetapi juga menjalin hubungan politis, menerapkan pendekatan legal, dan bermitra dengan industri pengguna di negara-negara penghambat.
Kemenangan Indonesia terhadap Uni Eropa (UE) dalam kasus anti dumping merupakan contoh strategi diplomasi yang tepat. Pembelaan Indonesia atas pengenaan bea masuk antidumping UE itu menyasar pada inti pokok persoalan, yaitu diskriminasi perdagangan. Pada 16 Maret 2018, UE menghapus bea masuk antidumping (BMAD) biodiesel Indonesia yang sebesar 8,8-23,3 person. Penghapusan dilakukan menyusul keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (DBS WTO) yang memenangkan enam gugatan Indonesia atas UE.
Mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi kepada Kompas, Selasa (20/3), mengatakan, Indonesia melakukan pembelaan dan serangan balik yang tepat dengan melalui WTO. Pembelaan juga menyinggung diskriminasi perdagangan.
Indonesia meletakkan konteks lebih luas, yaitu pengelolaan minyak nabati secara berkelanjutan, bukan hanya CPO. “Minyak nabati lain memiliki dampak lingkungan. Kenapa yang dipersoalkan hanya sawit? Ini merupakan diskriminasi perdagangan yang menjadi dasar argumen kuat Indonesia,” katanya.
Indonesia juga bekerja sama dengan importir pengguna CPO dan produk turunannya di kawasan UE. Pengenaan BMAD merugikan industri pemakai biodiesel karena harga menjadi lebih tinggi. Deforestasi selalu menjadi materi pokok hambatan ekspor CPO dan produk turunannya.
Pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menuturkan, produktivitas CPO di per-kebunan rakyat masih bisa ditingkatkan. Rata-rata produksi CPO perkebunan rakyat baru 2 ton per hektar per tahun. Adapun produktivitas perusahaan besar 4,5-5 ton per ha per tahun dan badan usaha milik negara 4-4,5 ton per ha per tahun.
Sertifikasi berkelanjutan
Deputi Direktur Perkumpulan Sawit Watch Indonesia Achmad Surambo mengatakan, tanggapan pemerintah terkait hambatan ekspor CPO sangat reaktif. “Terkesan seperti perang, tidak ada untungnya. Lebih baik benahi saja yang masih kurang dalam pengelolaan sawit kita dan tunjukkan buktinya,” katanya.
Ia mengatakan, fakta di lapangan menunjukkan deforestasi akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit terjadi. Sebagai contoh, Taman Nasional Tesso Nilo dan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil. Di TN Tesso Nilo, yang jadi habitat gajali sumatera seluas 80.000 ha. kini hanya tersisa 20.000 ha karena menjadi kebun sawit.
Peneliti senior Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB), Arya Hadi Dharmawan, menuturkan, pemerintah perlu membuka data perambahan kawasan hutan untuk kebun sawit. Namun, pemerintah tetap perlu mempromosikan perbaikan lewat sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan (ISPO). “Kami mempeijuangkan hutan yang di-rambah untuk sawit. Namun, terhadap sawit yang sudah ada di lahan yang sesuai peruntukan, jangan dimarahi, petani perlu didampingi untuk memastikan usahanya lestari,” kata Arya.
Direktur Eksekutif Yayasan Kehati MS Sembiring yakin ISPO penting untuk memajukan industri sawit Indonesia dan kon-servasi alam. Kebijakan ISPO bisa mengintervensi tata kelola sawit dan lahan Indonesia.
Di tengah hambatan perdagangan CPO, ada negara yang bersikap adil. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menje-laskan, salah satunya adalah Rusia. “Saya sampaikan apresiasi. Kita mencoba membentuk perjanjian perdagangan bebas dengan Eurasian Economic Union yang terdiri atas beberapa negara dengan jumlah penduduk 180 juta jiwa,” ujar Retno.
Menurut Retno, lebih dari 50 persen ekspor Indonesia ke Rusia adalah CPO. Dalam struktur impor CPO Rusia, Indonesia berkontribusi sekitar 80 persen.