JAKARTA Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) menilai ancarnan yang dilontarkan Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan bahwa Indonesia akan keluar dari Kesepakatan Perubahan iklim Parts (Paris Agreement) apabila kebijakan antisawit benar-benar diterapkan Uni Eropa (UE) sudah tepat. Tidak ada gunanya Indonesia bekeija sama dengan UE jika tidak menghargai Indonesia, apalagi merugikan Indonesia.
Ancarnan akan keluarnya Indonesia dari Paris Agreement diungkapkan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan baru-baru ini. Sebelumnya, Komisi UE telah menyerahkan Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive (RED) II kepada Parlemen UE. Dalam Delegated Regulation itu Komisi UE menilai kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan sehingga penggunaannya untuk bahan bakar kendaraan bermotor .harus dihapus sepenuhnya pada 2030.
Direktur Eksekutif Paspi Tungkot Sipayung mengatakan, apabila UE tidak mengubah pandangannya yang selalu negatif dan diskriminatif terhadap sawit Indonesia maka seluruh masyarakat sawit Indonesia mendukung ancarnan pemerintah agar Indonesia keluar dari Paris Agreement. Tidak ada salahnya apabila Indonesia mengikuti langkah AS dan Brasil yang lebih dulu keluar dari Paris Agreement. “Sawit adalah Indonesia dan Indonesia adalah sawit. Jika Indonesia hanya korban Paris Agreement, ya kita keluar seperti dilakukan Amerika Serikat (AS) dan Brasil. Sejak awal sebetulnya Indonesia tidak wajib ikut Paris Agreement karena emisi kita masih kecil,” tegas Tungkot di Jakarta, kemarin.
Tungkot mengatakan, prinsip keija sama inlernasional adalah saling menguntungkan dan sesuai amanat UU maka pemerintah wajib melindungi kepentingan Indonesia dari praktik negara-negara lain. Dalam konteks inilah para menteri bahkan DPR bersikap keras atas perlakuan UE atas sawit Indonesia. “Industri sawit adalah induslri strategis nasional harus dilindungi dan negara harus hadir,” katanya.
Menurut Tungkot, ada beberapa LSM berkedok lingkungan yang selalu membela kepentingan Eropa untuk menghambat perdagangan sawit Indonesia. Padahal, keputusan Komisi UE yang menghapuskan sawit sebagai bahan bakar biofuel, cenderung mendiskriminasikan komoditas dari negara berkembang. “Mereka (LSM) itu seharusnya bilang ke UE, jangan diskriminatif terhadap sawit. Ingatkan juga UE supaya tidak meributkan emisi sawit yang kecil untuk menutupi emisi mereka sangat besar,” kata Tungkot.
Terkait tuduhan UE soal isu lingkungan hidup terhadap sawit Indonesia tersebut, Staf Khusus Menteri Luar Negeri RI Peter F Gontha menduga UE memang berupaya melakukan diskriminasi terhadap Indonesia. Sebab, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling aktif mengikuti isu perubahan iklim. Bahkan, Indonesia telah berkomitmen dalam Conference of Parties (COP) 21 di Paris pada 2015 silam yang merupakan pertemuan tahunan yang menjadi kerangka keija Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim. “Sementara AS yang tidak mau tahu dengan climate change (perubahan iklim), yang tidak mau COP, tetapi AS kenapa tidak ada batasan di Eropa, kenapa?” tutur dia.
Namun demikian, Peter menilai, Indonesia telah menyamakan langkah untuk melawan keputusan UE terkait sawit. Tidak hanya pemerintah, DPR RI juga melakukan negosiasi dengan Parlemen UE. “Ketua DPR kita telah menulis surat kepada Parlemen Eropa, jadi parliament to parliament. Bahkan DPR juga menulis surat kepada pimpinan negara kita perlu mengadakan satu tindakan yang firm (pasti),” ujarnya. (tl)