JAKARTA – Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa lndonesia bisa saja melakukan tindakan balasan (retaliasi) kepada Uni Eropa (UE) apabila kawasan negara-negara eropa tersebut memboikot produk kelapa sawit lndonesia Jika Eropa menahan produk minyak sawit lndonesia melalui aturan maka Pemerintah lndonesia juga bisa melakukan upaya yang sama kepada produk-produk asal UE. Namun demikian, Pemerintah lndonesia akan lebih dulu melewati prosedur yang ada untuk menghambat langkah UE tersebut, di antaranya melalui jalur negosiasi.
Jusuf Kalla atau JK menjelaskan, industri kelapa sawit merupakan salah satu industri besar di Indonesia yang melibatkan sekitar 15 juta orang yang bekerja langsung maupun tidak langsung pada industri itu. Indonesia dan Eropa merupakan pasar yang sama-sama besar Apabila Eropa menahan produk minyak sawit Indonesia melalui aturan, pemerintah juga bisa melakukan upaya yang sama kepada produk asal Eropa. “Biasanya, kita bisa selesaikan dengan negosiasi atau lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kalau memang terpaksa. Ya kita lewati dulu prosedur yang ada. Kalau seperti tadi, oke kita tidak beli Airbus lagi, itu juga hak kita. Kalau UE memiliki hak membuat aturan, kita juga punya hak bikin aturan,” kata JK di Kantor Wapres Jakarta, Selasa (26/3).
Seperti dilansir Antara, JK mengatakan, Pemerintah Indonesia akan mengirim delegasi ke UE untuk memberikan penjelasan sebagai respons atas langkah diskriminatif terhadap sawit oleh UE. Tujuan delegasi itu memberikan tanggapan atas rancangan peraturan Komisi Eropa yaitu Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of the EU Renewable Energy Directive II. Komisi Eropa telah memutuskan bahwa budidaya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan dan penggunaannya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan.
Secara garis besar rancangan peraturan tersebut akan mengisolasi dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari sektor biofuel Uni Eropa sehingga dapat menguntungkan produk minyak nabati lainnya. Saat ini, Komisi Eropa juga telah mengadopsi Delegated Regulation no C (2019) 2055 Final tentang High and Low ILUC Risk Criteria on biofuels pada 13 Maret 2019. Dokumen ini akan diserahkan kepada Dewan dan Parlemen Uni Eropa melalui tahap scrutinize document dalam waktu duabulan ke depan. Hal itu berpotensi memberikan dampak negatif bagi kepentingan produsen minyak kelapa sawit utama seperti Indonesia dan Malaysia.
Senada dengan itu, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo sangat kecewa atas sikap UE dalam mengadopsi Renewable Energy Directive II (RED II) dan aturan turunannya yang mendiskriminasi kelapa sawit sebagai minyak nabati. Tindakan tersebut tidak mencerminkan selayaknya mitra stategis yang membangun hubungan baik dan saling menguntungkan. “UE merupakan salah satu mitra strategis Indonesia. Namun sayangnya proses adopsi legislasi RED II dan aturan turunannya didasarkan pada analisis ilmiah yang cacat, mengabaikan kritik yang datang dari internal UE dan lembaga independen, serta mengabaikan concern dan data-data yang disampaikan oleh negara-negara produsen ke lapa sawit,” tegas Bambang Soesatyo atau Bamsoet, kemarin.
Bambang menilai UE secara jelas telah mengabaikan upaya pembangunan, peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan di negara produsen minyak kelapa sawit. Concern UE terhadap sawit bukan untuk pelestarian lingkungan, melainkan sebagai upaya proteksi terselubung melindungi produk minyak nabati mereka yang daya saing dan produktivitasnya jauh lebih rendah dari minyak sawit. “Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia karena berkontribusi pada penyerapan lebih dari 19,50 juta tenaga kerja, termasuk di dalamnya 2,60 juta smallholders yang mempekerjakan 4,30 juta individu, penghasil devisa negara US$ 21,40 miliar pada 2018, sumber energi terbarukan biodiesel serta bagian dari upaya pengentasan kemiskinan yang menjadi prioritas utama dari Sustainable Development Goals (SDGs),” papar Bamsoet.
DPR Dukung RI ke WTO
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menjelaskan, Indonesia berkomitmen tinggi terhadap pelestarian lingkungan yang berjalan seimbang dengan pembangunan sosial dan ekonomi. DPR RI juga mendukung berbagai langkah yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan, di antaranya melalui restorasi lahan gambut, peremajaan sawit rakyat, penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit, penyelesaian penguasaan lahan dalarn kawasan hutan serta pencegahan kebakaran hutan dan lahan. “DPR RI juga mendukung pemerintah lndonesia untuk mengambil langkah-langkah tegas, termasuk mengajukan RED II dan Delegated Regulation ke WTO dan langkah lain yang diperlukan,” tandas Bamsoet.
Terkait isu sawit, DPR RI melalui Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) telah melakukan peran diplomasi dengan mengadakan serangkaian pertemuan dengan parlemen UE, sehingga bisa mencari penyelesaian yang terbaik bagi kedua belah pihak. “DPR RI juga mendesak Parlemen Eropa bisa secara komprehensif melihat dimensi keberlanjutan sebagaimana tertuang dalam Sustainable Development Goals 2030 dan tetap bijak serta adil dalam mengambil kebijakan yang akan berdampak pada hubungan baik kedua negara,” jelas Bamsoet.
Petani Sawit Desak Pemerintah Putihkan Lahan Rakyat
Investor Daily | Rabu, 27 Maret 2019
JAKARTA – Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) meminta pemerintah memutihkan lahan-lahan perkebunan yang masih tercatat sebagai bagian dari kawasan hutan, terutama lahan perkebunan sawit milik petani. Petani sawit rakyat telah mengolah tanah yang dimilikinya sejak lama, karena itu apabila untuk kepentingan rakyat maka sebaiknya tanah-tanah yang ditetapkan sebagai bagian dari kawasan hutan tersebut dibebaskan.
Ketua Dewan Pengawas Gapperindo Gamal Nasir mengatakan, pemutihan lahan sawit rakyat sekaligus memberikan kepastian atau legalitas atas lahan-lahan perkebunan milik petani sawit. “Kalau memang lahan petaninya bebaskan saja, putihkan, ini untuk kepastian status dan legalitas lahan petani. Pemutihan kebun petani yang katanya masuk ke kawasan hutan itu perlu dilakukan, itu usul kami, mereka kan sudah lama disitu,” kata Gamal di Jakarta, kemarin.
Senada dengan itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Alpian Arahman mengatakan, masalah legalitas lahan petani hingga saat masih menjadi momok. Untuk itu, Apkasindo akan berkoordinasi dengan pemerintah. Legalitas lahan menjadi bagian yang penting yang harus diselesaikan untuk mendukung lancarnya pelaksanaan program peremajaan kebun sawit rakyat, termasuk untuk pemenuhan syarat sawit lestari Indonesia (ISPO). Dengan begitu, UE juga tidak lagi mempunyai alasan memboikot produk sawit Indonesia. “Masalah lahan ini kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) agar lahan-lahan yang tumpang tindih segera dibebaskan. Sebab, masalah legalitas lahan ini penting,” kata Alpian.
Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto juga mengatakan, pemutihan status lahan petani memang penting dilakukan. Hanya saja, perlu peraturan yang menentukan sejumlah persyaratan sebelum petani memutihkan status lahan petani. Apabila pemutihan diiakukan maka perlu ada indikator petani kelapa sawit yang dibebaskan. Pemerintah perlu membuat indikator itu sebelum melakukan legalisasi lahan dengan mengidentifikasi dari awal. “Karena banyak orang yang mengaku petani sawit, tapi lahan mereka 30-200 hektare (ha) dan di dalam kawasan hutan. Bahkan ada yang 2.000-an hektare (ha). Selain itu, dikerjakan oleh orang lain dan mereka yang memiliki itu tidak tinggal di desa atau kebun,” kata Mansuetus.
Anggota SPKS sendiri, ujar dia, harus petani dengan kepemilikan lahan di bawah 25 ha, dikerjakan sendiri, dan tinggal di perdesaan. Selain itu, tidak terafiliasi dengan asosiasi petani sawit lainnya. Saat ini, anggota SPKS terdaftar sebanyak 52 ribu orang petani dan 211 kelompok tani. “Perlu pemutihan, tapi harus sesuai indikator, yakni petani tersebut hanya mempunyai 4 ha, tinggal di perdesaan atau di sekitar kebun. Petani itu mengelola tanah tersebut di atas 15 tahun. Penghasilan utamanya adalah sawit, bukan PNS atau aparatur negara atau pengusaha, serta mereka mengerjakan sendiri dan bukan diolah oleh orang lain,” kata Mansuetus.
Sementara itu, lanjut dia, pemerintah saat ini tengah menerapkan dua pendekatan terkait petani yang ada di dalam kawasan hutan. Untuk petani yang berada dalam kawasan hutan, sekarang pemerintah ada dua pendekatan, yakni perhutanan sosial dan reforma agraria. “Ini bukan pemutihan. Kalau pemutihan perlu ada indikator petani kelapa sawit yang perlu dibebaskan,” kata Mansuetus. (eme)