Katalis adalah jantung bagi industri kimia. Di Indonesia, rintisan pengembangannya dilakukan ITB dan Pertamina untuk pengolahan minyak dan gas, antara lain minyak diesel hijau.
Katalis dibuat dari senyawa zat mineral yang dicetak dalam beragam bentuk dan warna berupa butiran yang sangat keras menyerupai beras, pelet, atau bulatan seperti mutiara. Fungsinya untuk mengarahkan hingga mempercepat reaksi bahan baku olahan di industri hingga mencapai keseimbangan menjadi senyawa yang stabil. Dengan katalis, reaksi bahan proses dapat lebih efisien dari segi waktu, bahan baku, dan energi, serta ramah lingkungan.
Penggunaan katalis diperkenalkan oleh John Roebuck di Inggris pada 1746 dalam proses pembuatan asam sulfat. Katalis terus dikembangkan hingga dapat mempercepat reaksi hingga triliunan kali lipat.
Di dunia, kebutuhan katalis sekitar’21 miliar dollar AS (Rp 294 triliun). Nilai ekonomi yang dihasilkan dari produk olahannya 11 triliun-15 triliun dollar AS atau Rp 210.000 triliun (Rp 210 kuadriliun). Penggunaan katalis di Indonesia sekitar 500 juta dollar AS (Rp 7 triliun). Sayangnya, untuk memenuhi kebutuhan katalis, hampir 100 persen industri mengandalkan produk impor.
Upaya mengurangi ketergantungan katalis impor dirintis Subagjo, pakar katalis dari Fakultas Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung sejak 1983. Riset Subagjo bersama timnya di Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis ITB telah menghasilkan enam jenis katalis yang terbukti berfungsi baik. Katalis pertama yang dibuat berbasis besi oksida sebagai absorben gas II2S dinamai PIMITBl. Penggunaannya untuk desulfurisasi gas alam.
Pada 2004, Subagjo bersama rekannya, Makertihartha dan Melia Laniwati, menemukan formula katalis yang dinamai PK100 HS, untuk hidrotriting (hydrotreating) nafta (NHT). Uji coba skala pilot di Pusat Riset dan Teknologi Pertamina menggunakan 100 gram katalis menunjukkan hasil lebih baik daripada katalis komersial. Dari sinilah katalis itu dijuluki katalis ””merah putih” pertama.
Selanjutnya, uji coba dilakukan pada skala industri komersial di Kilang Dumai Pertamina pada 2012. Hasilnya lebih baik dari produk impor yang digunakan di kilang ini. Keberhasilan ini menjadi dasar penggunaan katalis merah putih ini di kilang lain milik Pertamina untuk pembuatan minyak nafta, kerosin, dan diesel.
Pengembangan katalis terus dilakukan hingga tercipta katalis tipe PTD 120 yang berpori lebih lebar daripada katalis merah putih pertama atau PK 100 HS. Katalis ini digunakan di kilang Dumai untuk mengolah beberapa jenis bahan baku solar sejak 2014, termasuk dalam mengolah campuran minyak sawit dengan minyak fosil dalam reaktor diesel hidrotriting.
Dengan katalis PTD 120, proses hidrogenasi minyak sawit menghasilkan fraksi ””diesel hijau” dengan bilangan setana (cetane number) sekitar 80. Modifikasi dilakukan terhadap PTD 120 dengan menambali bahan protomer menghasilkan katalis tipe PDI) 120-1,3T, yaitu katalis untuk proses deoksigenasi minyak nabati menghasilkan hidrokarbon parafinik. Ketika bahan yang diolah berupa minyak sawit, maka menghasilkan diesel hijau. Jika yang diproses minyak inti sawit atau minyak kelapa, produknya adalah kerosin parafinik yang merupakan bahan baku bio-avtur.
Riset lanjutan
Penerapan katalis PDO 1201,3T ini terus dikembangkan. Tiga tahun terakhir, fokus riset Subagjo dan timnya pada proses pembuatan bahan bakar nabati (BBN) dari campuran minyak fosil dan minyak sawit hingga penerapan katalis untuk pengolahan minyak sawit 100 persen menjadi bahan bakar hijau.
Bahan katalis merah putih berasal dari batuan mineral yang berbasis sulfida dari nikel, kobal, molibdenum dengan penyangga alumina. ””Katalis yang dihasilkan harus bisa mengolah minyak fosil dan atau minyak nabati saja,” ujarnya.
Salah satu hasilnya adalah diesel hijau yang dihasilkan dari Unit DHDT (Distillate Hydrotreating) 220 di kilang Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai. ”Di unit itu dilakukan coprocessing, yaitu pencampuran RBDPO dan LCGO (komposisi 20:80) untuk menghasilkan minyak solar hijau,” kata Nandang Kurnaedi, General Manager RU II Dumai.
Minyak RBDPO (refined bleached deodorized palm oil) merupakan hasil olahan minyak kelapa mentah sawit (CPO) di pengilangan untuk memutihkan atau mencerahkan warna dan menghilangkan bau. Adapun LOGO (light coker gas oil) adalah minyak gas yang dihasilkan dari pengolahan minyak residu. Minyak gas ini dapat diproses lebih lanjut menjadi produk minyak ringan, seperti bensin, avtur, dan diesel.
Campuran minyak ini menjalani reaksi hidrotriting di reaktor DHDT untuk mengurangi kandungan sulfur, oksigen, dan unsur pengotor lainnya hingga keluar menjadi diesel hijau dengan kemurnian tinggi. Kandungan oksigen diesel hijau ini nol persen, kandungan sulfur di bawah 2 ppm, dan warna lebih jernih serta bilangan sefananya 75-90. Sementara diesel biasa kandungan oksigennya 11 persen dan angka sefananya 40-65.
Source – Kompas