OSLO, KOMPAS – Indonesia terus mengupayakan diplomasi penggunaan bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit dengan Pemerintah Norwegia. Pendekatan bilateral seperti ini dinilai lebih efektif dibandingkan langsung ke kawasan Uni Eropa.
Duta Besar Indonesia untuk Norwegia Todung Mulya Lubis, saat sambutan jamuan makan malam selamat datang kepada peserta Festival Indonesia di Oslo, Kamis (27/6/2019) waktu setempat, mengatakan, Pemerintah Norwegia tidak mengeluarkan kebijakan yang melarang pembelian dan konsumsi minyak kelapa sawit.
Dia membenarkan, parlemen Norwegia telah menetapkan resolusi larangan penggunaan bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit, tetapi Pemerintah Norwegia sendiri tidak mengadopsi.
Kritik terus-menerus konsumsi minyak kelapa sawit justru datang dari para aktivis dan organisasi nirlaba lingkungan hidup. Secara terang-terangan, mereka menganggap konsumsi minyak kelapa sawit merusak lingkungan.
Todung mengemukakan, Indonesia terus berupaya berdiplomasi dengan Norwegia. Salah satu upayanya adalah menggelar Festival Indonesia yang diisi dengan seminar minyak kelapa sawit berkelanjutan. ”Minyak kelapa sawit berkontribusi besar terhadap pendapatan nasional Indonesia,” katanya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, Norwegia tidak pernah mengimpor minyak kelapa sawit dari Indonesia. Hanya saja, Norwegia, terutama organisasi nirlaba dan parlemen, tergolong gencar menyerukan kampanye negatif soal minyak kelapa sawit. Kondisi yang terjadi di Norwegia serupa terjadi di Perancis.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada triwulan I-2018, total perdagangan migas Indonesia-Norwegia 34,326 juta dollar AS dan nonmigas 45,888 juta dollar AS. Adapun pada periode yang sama tahun 2019, total perdagangan migas Indonesia-Norwegia nol dan nonmigas 65,753 juta dollar AS.
Satu minggu lalu, laman berita Mongabay.com menurunkan artikel berita berjudul ”Norway Sees Sharp Drop in Palm Oil Biofuel Consumption After Ban on Government Purchasing”.
Di awal artikel itu disebutkan, konsumsi bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit di Norwegia yang turun tajam pada tahun 2018, menyusul perubahan kebijakan atas pembelian komoditas minyak kelapa sawit yang dipermasalahkan karena maraknya deforestasi di Indonesia dan Malaysia.
Pada tahun 2017, Norwegia mengeluarkan kebijakan baru sebagai tanggapan atas kekhawatiran yang meningkat bahwa produksi minyak kelapa sawit pada hutan di negara-negara produksi. Parlemen Norwegia melakukan voting regulasi Public Procurement Act tentang menghentikan penggunaan minyak bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit. Resolusi ini lebih lanjut mendorong adanya amendemen peraturan yang berlaku sesegera mungkin.
Badan Lingkungan Norwegia (NEA) mengumumkan penurunan 25 persen dalam perdagangan biofuel dari sekitar 657 juta liter (174 juta galon) pada 2017, menjadi 497 juta liter (131 juta galon) diperdagangkan pada 2018.
Penurunan tersebut terutama disebabkan penurunan tajam dalam impor minyak sawit dari 317 juta liter (84 juta galon) pada 2017 menjadi 93 juta liter (25 juta galon) pada 2018. Persentase penurunan sekitar 70 persen.
Dalam artikel itu ada pernyataan Ketua Program Deforestasi Rainforest Foundation Norway (RFN) Nils Hermann Ranum. Dia mengatakan, penurunan konsumsi bahan bakar nabati minyak kelapa sawit sebagai kemenangan besar.
Menurut dia, untuk memerangi perubahan iklim dan menghentikan pembakaran hutan hujan dunia butuh solusi yang menghasilkan. Konsumsi bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit berisiko tinggi terhadap deforestasi. Dia mendesak Uni Eropa secara keseluruhan mengikuti jejak Norwegia.
Artikel di Mongabay.com itu juga menyebut kebijakan Norwegia mulai diikuti oleh proposal Uni Eropa yang sepenuhnya menghentikan konsumsi minyak kelapa sawit pada 2030. Proposal Uni Eropa ini membuat pengecualian untuk minyak kelapa sawit yang diproduksi di lahan yang sudah tidak digunakan dan untuk petani kecil, khususnya mereka yang memiliki kurang dari 2 hektar lahan perkebunan. Uni Eropa adalah pasar minyak kelapa sawit terbesar kedua dari dua negara Asia Tenggara, setelah India, mengimpor 4,37 juta ton komoditas dari Indonesia pada 2016 dan 2,06 juta ton dari Malaysia. Pada 2017, lebih dari setengah minyak sawit yang diimpor ke Uni Eropa digunakan untuk membuat bahan bakar nabati.
Source : Kompas