JAKARTA Ekspor minyak sawit nasional sepanjang Januari-Juli 2019 mencapai 19,76 juta ton, atau meningkat sekitar 6,70% atau setara 1,24 juta ton dibandingkan periode sama 2018 yang sebesar 18,52 juta ton. Sementara itu, ekspor komoditas perkebunan tersebut pada Juli tahun ini tercatat sebesar 2,92 juta ton atau meningkat 15,62% dariJuni 2019 sebesar 2,52 juta ton.
Pemicu utama naiknya volume ekspor tersebut adalah terus melonjaknya permintaan minyak sawit dari Tiongkok, pada Juli dibanding Juni misalnya, permintaan naik hingga 50%.
Data yang dilansir Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan, ekspor minyak sawit sebesar 19,76 juta ton pada Januari-Juli 2019 itu terdiri atas produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), minyak sawit olahan (processed palm oil/liquid dan solid fractions’), lauric (minyak palm kernel oz’Z/PKO dan olahannya), biodiesel, dan oleokimia. Sedangkan ekspor minyak sawit dan turunannya di luar biodiesel dan oleokimia pada Januari-Juli 2019 mencapai 17,76 juta ton atau meningkat sekitar 4,70% dari periode sama 2018 yang sebesar 16,97 juta ton.
Sementara itu, ekspor minyak sawit Juli 2019 mencapai 2,92 juta ton, meningkat hampir 16% dari Juni 2019. Pertumbuhan ekspor Juli 2019 itu ditopang oleh produk olahan ( liquid and solid fractions’) yang naik menjadi 1,70 juta ton dari 1,61 juta ton pada Juni 2019. Ekspor CPO pada Juli 2019 yang melonjak menjadi 678 ribu ton dari 445 ribu ton pada Juni 2019. Ekspor lauric juga meningkat dari 116 ribu ton pada Juni 2019 menjadi 129 ribu ton pada Juli 2019. Ekspor biodiesel pada Juli 2019 juga melonjak menjadi 187 ribu ton dari Juni 2019 yang hanya 97 ribu ton, sekitar 140 ribu ton ekspor biodiesel dipasarkan ke Tiongkok. Di sisi lain, ekspor oleokimia Indonesia pada Juli 2019 terpangkas menjadi 219 ribu ton dari sebelumnya mencapai 249 ribu ton pada Juni 2019.
Pasokan minyak sawit nasional pada Juli 2019 mencapai 7,87 juta ton terdiri atas stok awal bulan Juli sebesar 3,55 juta ton, produksi minyak sawit bulan yang sama 4,31 juta ton, dan impor sebesar 10 ton. Produksi minyak sawit pada Juli tersebut naik 8% dari Juni 2018, pertumbuhan itu karena hari panen pada Juni 2019 berkurang karena momen Lebaran yang berdampak pada tandan buah segar (TBS) yang dipanen pada Juli 2019. Sementara itu, konsumsi domestik mencapai 1,44 juta ton sehingga stok akhir minyak sawit pada Juli 2019 tercatat tinggal 3,52 juta ton.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan, kinerja ekspor minyak sawit dan produk turunannya (di luar biodiesel dan oleokimia) hingga Juli 2019 terus meningkat. Total volume sampai Juli lalu (Januari-Juli 2019) untuk komoditas itu mencapai 17,76 juta ton, padahal pada periode sama 2018 masih 16,97 juta ton. Ekspor terbesar ke Tiongkok yang melonjak hingga 46,70%, disusul negara-negara di Afrika 20,11%, dan beberapa negara Asia, khususnya Jepang dan Malaysia. Afrika sebagai negara tujuan ekspor baru yang sedang digarap Indonesia juga menunjukkan kinerja cukup baik. “Ini adalah keberhasilan Kementerian Perdagangan dalam melakukan promosi ke negaranegara Afrika,” kata Joko Supriyono di Jakarta, kemarin.
Namun demikian, terjadi penurunan ekspor yakni di India hingga 19,86, Amerika Serikat hingga 14,30%, serta Pakistan dan Bangladesh. Penurunan ekspor ke India masih dikarenakan pengenaan tarif impor tinggi sebesar 54% untuk produk olahan dan 40% untuk produk CPO. Kabar baik diperoleh dari India, karena negara itu akan menurunkan tarif impor untuk produk olahan sawit Indonesia menjadi 45% sehingga sama dengan tarif yang dikenakan kepada Malaysia. “Tentu ini karena negoisasi yang terus menerus dilakukan oleh Pemerintah RI dalam hal ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri kepada Pemerintah India,” ujar Joko Supriyono.
Joko Supriyono menjelaskan, pasar ekspor masih tumbuh meskipun diwarnai penuh masalah dan berbagai kampanye negatif. Masalah paling serius yakni rencana Uni Eropa (UE) yang akan mengurangi impor sawit mulai 2021. Terhadap rencana itu, Pemerintah Indonesia terus melakukan lobi disertai ancaman retaliasi terhadap beberapa produk impor dari UE. Di sisi lain, perolehan devisa ekspor mengalami penurunan, sampai Juli 2019 devisa ekspor dari produk sawit (di luar biodiesel dan oleokimia) sebesar US$ 9,80 miliar atau turun 18% dari periode sama 2018 sebesar US$ 11,90 miliar. “Tapi harga CPO di pasar internasional mulai menunjukkan pergerakan naik. Karena itu, kami berharap tren kenaikan ini terus menunjukkan ke arah positif hingga akhir tahun, sehingga sawit tetap mampu berkontribusi positif terhadap neraca perdagangan Indonesia,” katanya.
Konsumsi Domestik
Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menambahkan, penyakit flu babi Afrika telah menurunkan crushing kedelai di Tiongkok yang berdampak pada peningkatan impor minyak sawit dari Indonesia hampir 50% dari Juni 2019. Peningkatan ekspor yang besar juga terjadi ke Bangladesh yang naik hingga 264% dan India hingga 77%. Meski ada diskriminasi tarif, ekspor ke Afrika tercatat melonjak 32% dan negara lain tumbuh 41%, ke UE masih naik 17%. Sedangkan ekspor ke Amerika Serikat turun 54% dan ke Timur tengah anjlok 43%.
Di dalam negeri, lanjut Mukti, konsumsi lokal minyak sawit untuk keperluan pangan pada Juli 2019 menjadi 830 ribu ton dari 863 ribu ton pada Juni 2019. Hal itu karena pada Mei 2019, industri menyiapkan stok produksi untuk Lebaran yang jatuh pada awal Juni. Akibatnya, pemakaian minyak sawit untuk pangan pada Mei 2019 tinggi, tercatat mencapai 955 ribu ton. Pada Juli, industri pangan cenderung mengeluarkan stok kelebihan produksi yang dipersiapkan untuk Lebaran. Sementara itu, konsumsi minyak sawit untuk oleokimia meningkat menjadi 83 ribu ton pada Juli 2019 dari Juni 2019 yang mencapai 78 ribu ton. Konsumsi biodiesel domestik pada Juli 2019 naik menjadi 524 ribu ton dariJuni 2019 yang tercatat sebanyak 491 ribu ton.
Mukti mengatakan, perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok menyebabkan stok kedelai di AS meningkat. Karena itu, AS berusaha mencari pasar pengganti. Di sisi lain, produsen minyak sawit karena sifat alami tanaman tahunan tidak mampu menahan produksinya dan harus menjual ke pasar. Terobosan yang akan diambil Pemerintah Amerika Serikat untuk mengurangi stok kedelai, keberhasilan Tiongkok untuk menangani masalah flu babi Afrika, dan melonjaknya harga daging babi serta implementasi B20 dan B30 di Indonesia akan sangat menentukan keseimbangan minyak nabati yang pada akhirnya menentukan perubahan harga minyak sawit ke depan.
Gapki mencatat, harga rata-rata CPO CIF Rotterdam pada Agustus 2019 mencapai US$ 541 per metrik ton yang merupakan rata-rata bulanan tertinggi sejak Maret 2019. Namun demikian, harga minyak sawit masih menunjukkan tren yang menurun sejak Januari 2017. Tren menurun yang sudah cukup panjang itu cukup merisaukan produsen. Terlepas dari ramalan harga minyak sawit, pengalaman yang lalu mendesak Indonesia untuk segera meningkatkan produktivitas, melakukan efisiensi produksi agar biaya produksinya menjadi kompetitif. “Indonesia juga perlu segera merumuskan mekanisme yang memungkinkan pengaturan stok dan pasokan ke pasar dunia agar dapat lebih menentukan harga yang terbentuk di pasar,” kata Mukti.