JAKARTA Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani, menilai Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) sebagai skema kerja sama yang penuh tantangan tapi menjanjikan. Kerja sama ini ditargetkan rampung dan disepakati pada 2020.
Namun, kata Shinta, pemerintah mesti mendorong pelonggaran ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) melalui skema IEU-CEPA. Sejak Agustus lalu, Eropa memberlakukan proteksi berupa bea masuk antisubsidi (BMAS) 8-18 persen terhadap impor biodiesel asal Indonesia. Menurut dia, harus ada jalan tengah dengan tidak memberlakukan regulasi yang diskriminatif terhadap produk sawit Indonesia. “Kalau tidak mau diberlakukan sama, kami minta aturan terhadap CPO diperlonggar,” kata Shinta, kemarin.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia, Danang Girindrawardana, mengatakan sebuah perjanjian dagang harus menguntungkan kedua belah pihak. Menurut dia, hal ini belum terjadi karena Uni Eropa masih menghambat ekspor CPO. “Jika Uni Eropa tidak memiliki niat baik untuk berhubungan dengan kita, sebaiknya tidak perlu dipaksakan untuk menyelesaikannya,” ujar Danang.
Apabila belum ada kesepakatan yang sama-sama menguntungkan, Danang mengatakan pelaku usaha mendorong pemerintah mengalihkan ekspor ke negara lain. Menurut dia, pelaku usaha juga siap mengerem permintaan barang dari Uni Eropa, terutama terhadap produkproduk berteknologi tinggi, seperti pesawat terbang dan kendaraan bermotor. “Cina, Rusia, dan beberapa negara di Asia Selatan bisa menjadi alternatif baru untuk ekspor CPO, sekaligus menjadi pemasok produk berteknologi tinggi yang selama ini didatangkan dari Uni Eropa,” kata Danang.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mendorong para menteri untuk menyelesaikan perjanjian dagang dengan beberapa negara dalam setahun ke depan, salah satunya perjanjian IEU-CEPA yang terus tertunda. Jokowi menargetkan pada akhir 2020 perjanjian tersebut sudah selesai. Di luar isu sawit, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan IEU-CEPA menjadi upaya penetrasi produk tek stil agar tak kalah saing, termasuk dengan produk asal Vietnam. Menurut dia, pemberlakuan VietnamEU CEPA sudah diteken dan berlaku pada Januari 2020. “Ini tentunya perlu diwaspadai oleh Indonesia yang mengekspor produk tekstil ke negara-negara Uni Eropa,” ujar Ade.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Johnny Darmawan, menuturkan bahwa perjanjian dagang merupakan keniscayaan bagi Indonesia untuk memperluas pasar ekspor. Namun dia meminta agar tim yang dibentuk oleh pemerintah harus betulbetul menghitung untungrtfgi bagi Indonesia. “Saya harapkan jangan hanya obral perjanjian dagang tanpa bicarakan plus- minus. Jadi, jangan sampai target-oriented tanpa ada kualitas,” ujar Johnny.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati, menuturkan selama ini Uni Eropa selalu menetapkan standar yang terlalu tinggi. Hal ini dianggap tidak mengakomodasi produk Indonesia untuk masuk Uni Eropa. Salah satunya, Uni Eropa selalu mengancam komoditas sawit yang merupakan andalan ekspor Indonesia. “Kalau Uni Eropa belum mau menerima sawit Indonesia, ya tidak usah diratifikasi. Seberapa penting ratifikasi itu adalah mereka juga harus comply dengan produk Indonesia untuk masuk Eropa,” ujar Enny.