NERACA – Jakarta Indonesia memasuki B-30 makin pasti sudah setelah Rabu 17 Desember 2019, Pertamina bersama 18 produsen biodiesel sawit nasional menandatangani penyediaan biodiesel sawit (FAME) untuk kebutuhan mandatori B-30 mulai 1 Januari 2020. Hal ini memberi signal positif ke pasar CPO dunia yang akan menggerek naik harga CPO di pasar dunia.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung mentakan dengan B-30, sekitar 9.6 juta kilo liter’ biodiesel sawit atau setara dengan 8.5 juta ton CPO per tahun akan terserap di dalam negeri. Akibatnya, sekitar 26 persen volume CPO Indonesia yang diekspor ke berbagai negara akan berkurang.
“Pengurangan pasokan CPO ke pasar dunia selain akibat B30, juga tahun 2020 diperkirakan terjadi pelambatan produksi CPO dunia akibat kekeringan 2018/2019 yang melanda sentra utama CPO dunia yskni Indonesia dan Malasya. Sehingga tahun 2020pasar dunia akan kekurangan CPO yang memicu harga naik,” papar Tungkot.
Lebih dari itu, menurut Tungkot momentum ini sedangditunggu olehpetani sawit yang selama satu tahun terakhir menggerutu akibat harga TBS rendah . Memasuki tahun 2020 para petani sawit akan kembali bergairah menikmati kenaikan harga TBS yang ditransmisi dari kenaikan harga CPO dunia. Bahkan tidak perlu menunggu tahun 2020, pasar sudah merespons rencana B-30 tersebut. Harga CPO domestik sudah mulai tergerek naik dari sekitar Rp 7500/ kg awal Nopember menjadi Rp 9100/kgpadamingguketiga Desember 2019. Kenaikan harga CPO ini masih berlanjut ke tahun 2020.
“Tentu saja, manfaat B30 tidak hanya mendongkrak harga TBS pada 200 kabupaten sentra sawit nasional. Manfaat B30 yang tak kalah pentingnya adalah nilai tambah yang tercipta didalam negeri diperkirakan mencapai sekitar Rp 14 trilyun,” terang Tungkot.
Bahkan, Tungkot mengatakan penghematan devisa impor solar sekitar USD 5.13 miliar juga akan kita nikmati. Hal ini menyumbang pada penyehatan dan pengurangan defisit neraca perdagangan.
Selain itu, penggantian 30 persen konsumsi solar fosil dengan biodiesel sawit akan mengurangi emisi sekitar 14.2 juta ton C02. Ini adalah bagian dari sumbangan industri sawit pada lingkungan melalui pengurangan emisi global.
Mandatori B30 tersebut juga menjadi pencapaian Indonesia yang sangat penting. Jika B30 benar benar terlaksana, Indonesia adalah negara pertama dunia yang berani melangkah ke B30. Ini prestasi kelas dunia. Hal ini juga sekaligus membuat Indonesia naik kelas menjadi top-3 produsen biodiesel dunia.
“Pencapaian yang membanggakan tersebut jangan sampai terganggu. Seluruh komponen bangsa perlu memberi dukungan maksimal. Jika B30 berhasil tahun2020, maka untuk B50 berikutnya akan lebih mudah kita raih,” papar Tungkot.
Disisi lain, menurut Tungkot, Uni Eropa (EU) akan memasang tarif impor 8-18 persen biodiesel sawit dari Indonesia mulai Januari 2020. Tarif impor berupa pungutan impor (import levy) ini oleh EU sebagai anti subsidi biodiesel sawit Indonesia, kebijakan pungutan ekspor CPO yang kemudian sebagian digunakan untuk membiayai mandatori B20 menjadi B30, fasilitas dikawasan berikat, dituding sebagai subsidi biodiesel sawit.
“Tudingan subsidi biodiesel sawit oleh EU yang demikian bukan hal yang baru. Tudingan serupa tahun 2013 juga dilakukan EU dan tidak terbukti melalui gugatan RI di WTO,” terang Tungkot.
EU saat ini sedang galau karena sikapnya yang selalu mendua. Ingin menurunkan emisi, tapi tidak mau menurunkan kesejahteraan. Ingin minyak nabati impor yang sertifikasi sustainable, minyak rapeseed sendiri tidak ada sertifikasi sustainable. Bahkan produksi CSPO (CPO yang sustainable) hanya 40 persen terserap EU. Inginmenggantifosilfuel (karena kotor) dengan biofuel, tapi takut ketahanan pangan EU terganggu ( food-fuel trade off).
“Solusi EU untuk atasi trade off tersebut adalah impor biodiesel seperti biodiesel sawit. Ini juga dipersoalkan karena kehadiran biodiesel sawit di EU mendesak biodiesel rapeseed dari EU sendiri,” tutur Tungkot.
Sementara itu, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESM) Ignasius Jonan mengatakan Agar penggunaan biodiesel dengan baik dan tidak terjadi resistensi kepada masyarakat maka harus dilakukan kampanye secara konsisten.
Contohnya industri bio diesel dengan industri telekomunikasi. Dimana harga paket kuota data internet yang terus naik, tapi tidak ada pernah mengalami resistensi atau penolakan bila mengalami kenaikan harga.
“Jadi dalam hal ini harus ada kampanye secara konsisten dengan konten yang bagus kepada masyarakat,” saran Jonan didepan para pelaku industri biodiesel. Harapannya, menurut Jonan, penggunaan biodiesel dari mulai B10, B20, B30, B50 hingga B100 bisa berjalan secara konsisten sejalan dengan harapan Presiden RI Joko Widodo. Gmho
Source: Neraca