JAKARTA – Indonesia meminta Dewan Negara Penghhasil Minyak Kelapa Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) untuk dapat menyamakan standar kelapa sawit berkelanjutan guna melawan diskriminasi dari Uni Eropa (UE). Hal itu dilakukan menyusul rencana UE meningkatkan standar batas aman terhadap kontaminan 3-mono-chlorpropanediol (3-MCPD) dalam minyak makan menjadi 2,50 ppm pada 2021 sedangkan minyak nabati lain hanya 1,25 ppm.
Kita tidak bisa menghadapi Eropa dengan ‘multiple standard’ di mana CPOPC antara Indonesia dan Malaysia belum duduk, jadi itu dulu diselesaikan. Dengan itu selesai akan memudahkan kampanye di negara-negara lain
Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta agar Dewan Negara-Negara Penghasil Kelapa Sawit (CPOPC) dapat menyamakan standar kelapa sawit berkelanjutan guna melawan diskriminasi dari Uni Eropa.
Menko Airlangga menilai bahwa saat ini, dua negara penghasil terbesar kelapa sawit dunia, yakni Indonesia dan Malaysia memiliki standar sawit berkelanjutan masing-masing. Indonesia memiliki standar ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil), sementara Malaysia memiliki MSPO (The Malaysian Sustainable Palm Oil).
“Kita tidak bisa menghadapi Eropa dengan ‘multiple standard’ di mana CPOPC antara Indonesia dan Malaysia belum duduk, jadi itu dulu diselesaikan. Dengan itu selesai akan memudahkan kampanye di negara-negara lain,” kata Airlangga dalam Forum Dewan Negara-Negara Penghasil Kelapa Sawit (CPOPC) yang digelar di Jakarta, Jumat.
Saat ini, negara-negara penghasil kelapa sawit dihadapkan pada isu rencana Uni Eropa meningkatkan standar batas aman terhadap kontaminan 3-monochlorpropanediol (3-MCPD) dalam minyak makan.
Uni Eropa (UE) pada 2021 akan menerapkan batas 2,5 ppm terhadap kontaminan 3-MCPD yang ditemukan dalam minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan. Sementara pada minyak nabati lain, khususnya yang diproduksi di UE seperti minyak canola, sunflower, rapeseed, hingga kedelai hanya ditetapkan 1,25 ppm.
CPOPC telah menyatakan keberatan atas kebijakan dua batas maksimum 3-MCPD UE tersebut. Pasalnya, batasan maksimum 3-MCPD sebesar 2,5 ppm adalah batas keamanan (safety level) yang dapat diterima untuk konsumsi. Dengan demikian UE juga perlu menerapkan satu batas maksimum yang berlaku untuk semua minyak nabati.
Airlangga pun menilai bahwa keputusan UE tersebut selain diskriminatif, juga meningkatkan hambatan perdagangan nontarif. Apalagi, hampir 80 persen dari produksi minyak sawit Indonesia digunakan di pabrik bahan pangan.
“EU ini meningkatkan ‘trade barrier’ dengan mencoba merumuskan standar yang lebih tinggi lagi. Hal ini tidak bisa kita biarkan, apalagi Indonesia salah satu ekspor utamanya dari kelapa sawit,” kata Airlangga.
Ia juga meminta agar negara-negara CPOPC harus bersatu untuk mengatasi hambatan perdagangan minyak sawit, termasuk kampanye negatif yang dilakukan beberapa negara. Contohnya, minyak sawit yang disebut sebagai minyak nabati hasil deforestasi.
“Di sini sebaiknya kita tak hanya memikirkan deforestasi, tapi juga masalah keberlanjutan lingkungan ketika memproduksi CPO. Semua stakeholders, dari pelaku industri minyak sawit, peneliti sampai pemerintah, harus bergerak dalam usaha kolektif ini, sehingga dapat meningkatkan kualitas CPO dan produk konsumsi lainnya,” kata dia.
Source: Investor Daily