Presiden Joko Widodo selalu menekankan pentingnya investasi dan ekspor dalam meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia, termasuk memperbaiki defisit neraca perdagangan. Pada 2019, Indonesia masih membukukan defisit neraca perdagangan US$3,2 miliar, meskipun mengalami perbaikan dibandingkan dengan torehan 2018 senilai US$8,5 miliar.
Minyak sawit beserta produk turunannya selama beberapa tahun terakhir terus menyumbangkan kontribusi yang positif terhadap kinerja ekspor Indonesia. Di tengah kelesuan perekonomian global disertai penurunan harga komoditas minyak sawit dalam 2 tahun terakhir, ekspor minyak sawit dan produk turunan PERSPEKTIF tetap menyumbangkan pendapatan positif, yaitu US$20 miliar. Ekspor minyak sawit tumbuh cukup bagus sejalan dengan tumbuhnya industri sawit nasional selama 2019, di mana produksi minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) nasional tumbuh 9%, pasar domestik tumbuh 24%, dan ekspor tumbuh 5%.
Maka, tidak berlebihan jika industri sawit dinobatkan sebagai industri strategis, apalagi industri ini menjadi tempat bergantung 17,5 juta orang petani dan karyawan perusahaan.
Indonesia saat ini ratarata mengekspor lebih dari 70% produksi sawit nasional ke lebih dari 50 negara tujuan, dalam berbagai bentuk produk yang didominasi produk olahan dan turunan dengan komposisi 69% olahan dan dikemas, 8% oleokimia, 3% biodiesel dan 20% CPO.
Jika dikalkulasi, Indonesia menguasai 62% pangsa pasar minyak sawit dunia atau menguasai pangsa pasar 20% minyak nabati dunia. Pasar domestik untuk produk minyak sawit dan turunannya pun tumbuh cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir, berkat kebijakan untuk mengimplementasikan program mandatori biodiesel sejak 2015, yang dimulai dengan B15, B20 dan rencana B30 pada 2020. Bahkan, penggunaan biofuel berbasis sawit akan ditingkatkan sampai ke B40 dan B50.
Penerapan program mandatori biodiesel mempunyai efek ganda, yaitu di satu sisi menyubstitusi penggunaan solar sehingga mengurangi impor, di sisi lain meningkatkan multiplier effect dalam bentuk lapangan kerja dan nilai tambah di dalam negeri.
Serapan domestik selama 2019 tumbuh 24% dibanding dengan 2018, ini terutama didominasi penggunaan biodiesel yang tumbuh lebih dari 51% selama 2019 dengan volume setara 5,7 juta ton CPO. Penguatan pasar domestik sangat penting karena Indonesia mulai mampu “mengendalikan” supply and dernand minyak sawit di pasar global. Dengan implementasi program biodiesel lebih lanjut, pasar domestik akan menyerap sekitar 50% produksi.
Terkait pasar ekspor, setiap tahun, terdapat tambahan suplai 6-7 juta ton untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati global. Adapun permintaan minyak sawit tumbuh rata-rata 5% per tahun.
Namun, pasar global selalu diwarnai dengan persaingan yang sangat ketat, baik antar komoditas maupun antarnegara produsen/ pengekspor minyak nabati. Persaingan ini sering melibatkan pemerintahan dan politik suatu negara, sehingga persaingan menjelma menjadi hambatan perdagangan. Contoh yang paling menonjol adalah pasar Uni Eropa (UE). Di satu sisi, UE membutuhkan minyak sawit. Di sisi lain, UE adalah produsen minyak bunga matahari dan rapeseed yang perlu dilindungi secara politis.
AKSI NEGATIF
Inilah yang diduga mendasari adanya gerakan kampanye negatif terhadap minyak sawit di Eropa selama berpuluh tahun. Bahkan, untuk kasus biodiesel, UE tidak saja membuat hambatan nontarif tapi juga hambatan tarif.
Pasar India merupakan tujuan ekspor terbesar minyak sawit Indonesia (kira-kira 20% dari total ekspor). Dalam 2 tahun terakhir, ekspor ke India mengalami penurunan karena negara itu memberlakukan tarif bea masuk yang cukup tinggi, yaitu 45% untuk CPO dan 55% untuk produk sawit olahan. Indonesia terus menegosiasikan masalah tersebut.
Pakistan juga pasar yang cukup besar dan masih tumbuh, di mana Indonesia mampu menguasai pasar ekspor dalam beberapa tahun terakhir. Namun, belakangan Pakistan meminta Indonesia untuk me-review PTA (preferential tariff agreement). Ekspor minyak sawit ke Pakistan pada 2019 turun 10% dibandingkan dengan 2018.
China membukukan rekor terbesar impor minyak sawit dari Indonesia selama 2019, dengan volume sekitar 6 juta ton (di luar biodiesel dan oleokimia). Ini diduga ada pengaruh perang dagang China-Amerika Serikat dan serangan wabah swine flu terhadap peternakan babi di China.
Perkembangan menarik adalah pasar Afrika. Sebagai wilayah yang sedang tumbuh, ekspor minyak sawit ke negaranegara Afrika tumbuh 17% pada tahun 2019 dengan volume hampir 3 juta ton lebih. Berbagai masalah infrastruktur dan fasilitas pelabuhan masih menjadi tantangan untuk meningkatan ekspor ke Afrika.
Pada 2020, perekonomian dunia masih mengalami tantangan berat, apalagi dengan adanya wabah virus Corona di China.
Pasar UE tetap akan diwarnai dengan kampanye negatif dan isu pelarangan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel di UE sesuai regulasi RED 2. Namun, progres penanganan protes Indonesia terhadap RED 2 di WTO, maupun progres perundingan Indonesia-EU CEPA akan mewarnai sentimen pasar yang positif.
Ekspor ke India kemungkinan mulai meningkat lagi mengingat adanya penurunan tarif bea masuk menjadi 37,5% untuk CPO dan 45% untuk sawit olahan sejalan dengan berlakunya FTA India-Asean. Sebagai emerging market, Afrika perlu terus diperhatikan karena prospeknya cukup besar.
Oleh karena itu, perlu ada strategi nasional dalam perdagangan minyak sawit, dikaitkan dengan neraca perdagangan Indonesia dengan negara mitra. Negara dengan surplus neraca perdagangan, terutama akibat ekspor minyak sawit, perlu mendapat perhatian lebih. Promosi perlu dilakukan di pasar-pasar baru, termasuk menyangkut regulasi yang berlaku di Indonesia.
Perlu dipertimbangkan mengenai dikenakannya pungutan ekspor untuk produk kemasan, karena ekspor dalam bentuk olahan kemasan kurang kompetitif. Hal ini penting dalam rangka mendukung diversifikasi pasar tujuan ekspor maupun diversifikasi produk dalam rangka penghiliran industri sawit.
Source: Bisnis Indonesia