Jakarta – Uni Eropa secara terang-terangan terus melakukan aksi diskriminatif terhadap industri minyak sawit dengan membatasi penggunaan minyak sawit di negaranya. Namun, aksi tersebut dilakukan tanpa menggunakan parameter yang menyeluruh, objektif, komprehensif, dan diakui secara internasional.
Wakil Menteri Luar Negeri, Mahendra Siregar, mengatakan bahwa sebagian besar minyak sawit yang diproduksi oleh Indonesia sudah menekankan pada aspek berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kondisi ini tentunya lebih baik dibandingkan dengan beberapa produk minyak nabati lain seperti rapeseed yang diproduksi di UE dan negara kompetitor lainnya.
Hal tersebut disampaikan Mahendra saat menghadiri seminar “Policy Dialog Strategic Bioenergy in Indonesia and Sweden” yang merupakan upaya kerja sama antara Indonesia dan Swedia untuk mempromosikan penggunaan dan penelitian lebih lanjut dari sustainable bioenergy, termasuk kelapa sawit.
Mahendra mengatakan, “Yang saya sampaikan adalah Sustainable Development Goals (SDGs) yang adalah suatu komitmen dan juga target bersama dunia di bawah lingkup PBB yang ingin kita capai. Jadi, jangan hanya memilih satu atau dua target lalu kemudian menerapkannya seakan-akan itu menjadi target global. Seperti yang dilakukan dalam kebijakan UE – Renewable Energy Directive dengan tunjuk pelaksanaannya yang menurut kami tidak tepat.”
Renewable Energy Directive merupakan kebijakan terkait produksi dan promosi energi dari sumber energi terbarukan di UE. Aturan ini mengharuskan UE untuk memenuhi 20% dari total kebutuhan energinya dengan energi terbarukan pada 2020. Namun, UE merevisi aturan tersebut pada awal 2019 lalu menjadi RED II.
Dalam aturan ini dijelaskan bahwa penggunaan energi terbarukan untuk tahun 2030 menjadi 32%. Namun demikian, aturan RED II tersebut dianggap pemerintah RI sebagai langkah UE untuk mendiskriminasi kelapa sawit dalam memenuhi persyaratan agar dapat diterima sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati yang berkelanjutan di pasar UE.
Lebih lanjut, Mahendra menjelaskan bahwa penggunaan pupuk dalam produksi sawit hanyalah 1/20 dibandingkan penggunaan pupuk untuk rapeseed yang ada di UE. Sementara penggunaan pestisida untuk kelapa sawit hanya 1/100 dibandingkan rapeseed. Penggunaan pestisida dan pupuk tersebut dapat mengakibatkan polusi pada lingkungan, baik air maupun tanah.
Mahendra menambahkan, “Jadi ini lebih destruktif sifatnya. Jadi, kalau mau melihat dampak lingkungan, dampak keberlanjutan, mari kita lihat seluruhnya dan mari kita lakukan penelitian, pengkajian, sehingga dapat hasil yang baik, yang optimal. Dan memang bukan sebagai suatu cara untuk mendiskriminasi suatu produk, sekadar untuk melindungi dan memproteksi produk lainnya.”
Sumber : Wartaekonomi.co.id