Bisnis, JAKARTA — Harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil ikut tergerus oleh penurunan harga minyak mentah global dan sentimen virus corona. Namun, emiten sawit tetap yakin bisa meraih pertumbuhan penjualan.
Harga CPO kontrak Mei di Bursa Malaysia ditutup turun 3,5% ke level 2.277 ringgit per ton pada perdagangan Kamis (12/3), harga terendah sejak Agustus 2019. Level tertinggi harga minyak sawit tahun ini adalah 3.082 ringgit per ton yang dicapai pada 3 Januari. Sejak itu, harga terus turun.
Tekanan terhadap harga CPO pada tahun ini berasal dari konflik Malaysia-India, penyebaran wabah virus corona (COVID-19), dan perang harga minyak mentah dua produsen utama, Arab Saudi dan Rusia.
Sathia Varqa, pemilik Palm Oil Analytics di Singapura, mengatakan bahwa CPO berjangka dapat dilanda aksi jual besar-besaran karena tertekan sentimen penyebaran COVID-19 yang meluas, yang membuat prospek permintaan CPO pada tahun ini semakin suram.
“Sentimen pendukung harga CPO semoga nanti akan datang dari prospek ekspor Malaysia yang diprediksi lebih baik pada periode Maret 2020, juga membaiknya hubungan dagang Malaysia dan India,” ujar Sathia seperti dikutip dari Bloomberg.
Untuk diketahui, ekspor Malaysia per Februari turun 11% dibandingkan dengan periode Januari menjadi hanya sebesar 1,08 juta ton. Selain itu, Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Mohammad Khairuddin Amman Razali dikabarkan akan mengirimkan delegasi ke India untuk melakukan negosiasi.
Dia juga mengatakan bahwa ringgit yang bergerak lebih lemah juga dapat menjadi katalis positif bagi CPO karena harga menjadi lebih murah bagi pembeli dengan denominasi selain ringgit.
Pada perdagangan kemarin, ringgit berada di posisi 4,26 per dolar AS, terkoreksi 0,64%. Sepanjang tahun berjalan 2020, ringgit telah bergerak melemah 3,96%.
Kendati demikian, jika sentimen positif tersebut hadir di pasar untuk waktu yang lama, bukan berarti harga CPO akan terangkat dari area bearish. Sentimen itu hanya dapat membatasi penurunan harga. Pasalnya, kondisi makro secara keseluruhan masih cukup bergejolak yang membuat pasar semakin lesu.
Di sisi lain, Fitch Solutions memprediksi rata-rata harga CPO pada 2020 menjadi hanya 2.300 ringgit per ton karena permintaan yang melemah dan pertumbuhan pasokan yang terbatas.
“Melambatnya prospek ekonomi karena virus corona dan harga minyak yang lebih rendah pada kenaikan pasokan OPEC+ akan membatasi permintaan internasional untuk bahan bakar nabati yang berasal dari kelapa sawit,” tulis Fitch Solutions dalam publikasi risetnya, Kamis (12/3).
Permintaan CPO untuk biofuel dari Indonesia dan Malaysia yang lebih besar pada tahun ini tampaknya gagal mengimbangi permintaan global yang lebih lemah.
Harga diperkirakan akan naik ke 2.400 ringgit per ton pada 2021, kemudian 2.500 ringgit per ton pada 2022, dan 2.520 ringgit per ton pada 2023.
DAMPAK KE EMITEN
Walaupun harga CPO lesu, analis PT Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji tetap yakin sejumlah emiten perkebunan sawit bisa memanfaatkan dukungan pasar domestik dan ekspor ke India untuk menopang kinerja pada kuartal I/2020. Selain itu, pasar Uni Eropa juga masih jadi andalan.
“Memang untuk saat ini pasar China masih belum terbuka karena virus corona. Namun, kebijakan pembatasan Uni Eropa belum efektif, lalu masih ada India dan serapan biodiesel domestik,” katanya kepada Bisnis, Rabu (11/3).
Nafan meyakini kinerja emiten perkebunan tidak akan terlalu buruk, utamanya PT Perkebunan London Sumatra Tbk. (LSIP) dan PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI). Ia memprediksi LSIP bisa membukukan pendapatan sampai dengan Rp1 triliun untuk kuartal pertama, walaupun ada penurunan tren pada laba bersih.
LSIP mencatatkan penjualan CPO sebesar 417.533 ton, turun 4,2% dari posisi tahun lalu 435.923 ton. Penjualan segmen karet dan benih kelapa sawit pun tercatat turun masing-masing 4,3% dan 51,9%.
Adapun volume penjualan segmen PKO tercatat naik 10,6% ke posisi 124.908 ton dari posisi tahun lalu 112.898 ton. Dari semua itu, total penjualan LSIP selama 2019 tercatat Rp3,69 triliun, turun 7,96% dibandingkan dengan 2018 Rp4,01 triliun.
Segmen kelapa sawit dan turunannya menyumbang 92,2%, naik dari realisasi 2018 sebesar 91,8%. Kemudian segmen karet 5,0%, benih 1,2%, dan lain-lain 1,6%.
Sementara itu, emiten perkebunan PT Sampoerna Agro Tbk. (SGRO) optimistis kinerja kuartal I/2020 bakal lebih baik dibandingkan dengan periode sebelumnya karena harga jual lebih tinggi 800 ringgit per ton.
“Rata-rata penjualan masih di atas tahun lalu. Sejauh ini kuartal I/2020 rata-rata harga jual mencapai 2.800 ringgit per ton, sedangkan tahun lalu hanya 2.000 ringgit per ton,” kata Head Investor Relations SGRO Michael Kesuma kepada Bisnis. Dengan demikian, ada peningkatan harga jual sebesar 40%.
Di sisi lain, Michael pun mengakui merebaknya virus corona telah memengaruhi harga jual secara tidak langsung karena CPO merupakan komoditas internasional. Pangsa SGRO adalah untuk pasar domestik.
Michael mengklaim permintaan dari pasar domestik untuk CPO belum mengalami penurunan. Apalagi, tahun ini pemerintah menjalankan mandatori B30 yang menambah konsumsi domestik sebesar 3 juta ton.
Harga jual rata-rata perseroan untuk minyak sawit dan inti sawit pada kuartal III/2019 mengalami penurunan masing-masing sebesar 12% dan 33% dibandingkan periode tahun sebelumnya. Harga minyak sawit turun dari Rp7.528 per kg menjadi Rp6.625 per kg, dan minyak inti sawit dari Rp5.480 per kg menjadi Rp3.668 per kg.
Dampak virus corona juga diakui PT Dharma Satya Nusantara Tbk. (DSNG) berimbas ke industri, terutama karena harga yang terus melandai.
“Virus ini telah memengaruhi harga karena turunnya permintaan dari negara yang terdampak. Namun, kami menjual CPO ke pasar lokal, tidak ada yang diekspor,” kata Sekretaris Perusahaan Dharma Satya Nusantara Paulina Suryanti kepada Bisnis.
Untuk pasar dalam negeri, lanjutnya, permintaan masih terjaga karena volume penjualan tidak menurun.
Sumber : Bisnis Indonesia