Sebagai identitas negara, Pemerintah Indonesia telah mendaftarkan batik ke dalam jajaran Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia kepada United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang kemudian dikukuhkan sebagai warisan budaya dunia pada tanggal 2 Oktober 2009.
Pengakuan UNESCO tersebut juga disambut baik oleh Pemerintah Indonesia dengan menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Sejak 11 tahun dikukuhkan, model, motif, dan permintaan akan batik Indonesia dari berbagai daerah makin beragam dan inovatif.
Namun menariknya, bahan baku batik yang selama ini berasal dari produk pewarna sintesis makin tergerus dan tergantikan oleh berbagai produk bahan baku yang ramah lingkungan. Saat ini, penggunaan pewarna alami yang dihasilkan dari berbagai jenis tumbuhan dan bahan alami lainnya mulai banyak diminati untuk keperluan industri batik. Pewarna alami dipilih karena memiliki keunggulan berupa proses ekstraksi yang mudah dan ramah lingkungan serta dinilai lebih ekonomis dibandingkan pewarna sintetis.
Meskipun dianggap remeh, cangkang sawit (palm kernel shell/PKS) berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan zat warna alami yang dapat digunakan pada kain batik. Hal tersebut karena cangkang sawit mengandung pigmen karotenoid yang menghasilkan warna oranye.
Mendukung kondisi tersebut, Puji Lestari., et.al (2016) dalam penelitiannya menemukan bahwa pewarnaan batik pada kain berbahan katun dan sutera yang menggunakan cangkang sawit menghasilkan zat warna yang berkualitas, yakni tahan luntur terhadap pencucian dan gosokan. Bahkan, jika dibandingkan dengan kulit kakao, pewarnaan dengan menggunakan cangkang sawit lebih unggul karena nilai ketahanan luntur terhadap pencucian dan ketahanan terhadap gosokan yang lebih tinggi.
Salah satu motif batik yang dapat dihasilkan dengan menggunakan zat pewarna dari cangkang sawit yakni motif “Tingi-Tunjung”. Efek warna dasar yang berasal dari perpaduan antara cangkang sawit dengan tawas yang telah melalui proses panjang akan menghasilkan warna yang indah. Dalam laporan Palm Oil Indonesia dituliskan, “Tidak hanya sebagai pewarna pada kain batik, peran kelapa sawit di industri batik nasional juga dapat dilihat sebagai substitusi parafin yang digunakan pada malam.”
Malam merupakan blocker warna antar motif pada batik yang selama ini mengandung komponen parafin yang berasal dari minyak fosil. Dengan malam yang dihasilkan dari bioparafin cangkang sawit, hasil warna yang dihasilkan akan lebih tajam dan cerah, tahan terhadap larutan alkali dan asam, ramah lingkungan, serta lebih ekonomis karena mampu menekan biaya produksi hingga 20 persen. (Ellisa Agri)
Sumber: wartaekonomi.co.id