Keberhasilan diplomasi sawit Indonesia dinilai tak selamanya diterima baik oleh sebagian warga negaranya. Kegaduhan yang timbul justru dipakai oleh sebagian kalangan di luar negeri untuk menyerang produk sawit Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Serangan dan penolakan terhadap minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil) dan produk turunannya asal Indonesia di sejumlah negara tujuan ekspor, khususnya di Eropa, masih terjadi. Namun, Indonesia selama ini mampu menunjukkan keberhasilan berdiplomasi terkait minyak sawit itu sehingga sejak 2006 hingga kini menjadi negara produsen dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Sayangnya, keberhasilan dalam diplomasi sawit dalam konteks diplomasi ekonomi Indonesia itu kurang dihargai di dalam negeri.
Bahkan, saat sejumlah negara yang semula menolak minyak sawit Indonesia mulai bisa menerima, di dalam negeri masih ada saja yang mempersoalkan industri minyak sawit. Industri kelapa sawit, seperti selama ini, dianggap merusak lingkungan, mengancam kelestarian alam, menimbulkan masalah kesehatan, penggundulan hutan, atau melanggar hak asasi manusia sehingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Kegaduhan itu yang dipakai oleh sejumlah kalangan di luar negeri untuk kembali menyerang dan menolak minyak sawit produk Indonesia.
Diplomasi sawit Indonesia, yang menjadi bagian dari diplomasi ekonomi-politik negeri ini, hanya bisa berhasil dengan baik jikalau mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan. Bukan hanya pelaku usaha kelapa sawit dan pemerintah, melainkan juga masyarakat. Apalagi, sejak periode kedua pemerintahannya, Presiden Joko Widodo menggerakkan diplomasi ekonomi untuk mendukung upaya menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Persoalan itu mengemuka dalam Forum ”JCG CALM Mendukung Diplomasi Ekonomi” yang digelar secara dalam jaringan (daring), Selasa (2/2/2021). Forum yang diadakan The Jakarta Consulting Group (JCG) itu menampilkan narasumber mantan Menteri Pertanian Prof Dr Bungaran Saragih, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APBROBI) MP Tumanggor, Wakil Direktur Eksekutif Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) Dupito D Simamora, mantan Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir, Duta Besar Republik Indonesia untuk China/Mongolia Djauhari Oratmangun, serta Direktur Utama PT Krakatau Steel Silmy Karim. Forum itu dibuka oleh Patricia Susanto, Direktur Utama JCG.
Menurut Prof Dr AB Susanto, pendiri JCG, perusahaan konsultasi yang didirikannya itu selama ini menangani manajemen strategis yang terkait dengan restrukturisasi, kepemimpinan dan budaya perusahaan, bisnis keluarga, manajemen induk perusahaan (holding company management), dan pencarian eksekutif. Namun, sepuluh tahun terakhir JCG juga mengembangkan bidang communication, advocacy, lobbying, and mediation (CALM) bagi perusahaan, badan usaha milik negara, lembaga pemerintahan, serta lembaga sosial kemasyarakatan, dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional serta menjaga independensi dan profesionalitas.
”Perkembangan diplomasi ekonomi masa kini menuntut kehadiran pelaku non-negara untuk menunjangnya, terutama terkait dengan komunikasi, advokasi, lobi, dan mediasi sebagai pihak yang dianggap lebih netral dan mempunyai kemampuan untuk ’bergerilya’, menembus pagar formalitas hubungan antarnegara,” kata Susanto, yang juga Guru Besar Manajemen Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Jakarta.
Mantan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir dalam pengantarnya menyatakan, diplomasi ekonomi pada saat ini tidak hanya melalui pemerintah, tetapi juga oleh berbagai pihak non-negara. Diplomasi ekonomi juga perlu dilakukan agar berbagai sektor industri dapat berkembang lebih baik lagi, termasuk industri sawit dan industri baja.
Sejarah panjang
Bungaran, yang juga Guru Besar IPB University, mengungkapkan, diplomasi ekonomi, khususnya dalam industri sawit di negeri ini memiliki sejarah yang panjang. Sempat mengalami situasi sulit, penurunan, dan menempati posisi kedua dalam industri sawit dunia, di bawah Malaysia, sejak lebih dari 14 tahun lalu Indonesia kembali merajai sawit dunia. Diplomasi ekonomi dalam industri sawit yang semakin baik, ditambah proses produksi minyak sawit di negeri ini yang semakin membaik, pada tahun 2006 Indonesia menempati peringkat satu dalam industri sawit. Hal itu bisa menjadi contoh bagi industri pertanian lainnya, seperti karet, cokelat, kopi, atau teh yang saat ini juga tak selalu mulus memasuki pasar dunia.
Ia menilai diplomasi sawit yang selama ini dijalankan oleh Indonesia berhasil. ”Saat ini Indonesia menjadi raja sawit dunia, merupakan andil dari diplomasi tersebut sejak Orde Baru sampai masa reformasi saat ini,” katanya. Bungaran pun mengatakan diplomasi sawit harus menjadi bagian dari diplomasi ekonomi-politik Indonesia dan berjalan secara integral.
Akan tetapi, Bungaran menyesalkan, keberhasilan diplomasi sawit itu tak selamanya diterima baik oleh warga negara Indonesia. Masih ada saja sekelompok warga negeri ini yang mempersoalkan industri sawit nasional dan membanggakan negara lain. Bahkan, mengolok-olok dan mencaci maki produksi negeri ini sehingga menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat. Kegaduhan itulah yang dipakai oleh sebagian kalangan di luar negeri untuk menyerang produk Indonesia, khususnya sawit, dan merugikan negara ini.
Bungaran juga mengakui, sawit adalah industri strategis di negeri ini. Jikalau terjadi guncangan pada komoditas ini, bisa saja berdampak besar bagi perekonomian nasional, termasuk di bidang lapangan kerja dan pendapatan devisa nasional. Oleh karena itu, ia berharap siapa pun yang ingin memasalahkan industri sawit nasional, memperhatikan kepentingan masa depan bangsa, dan melihat upaya perbaikan yang dilakukan oleh pelaku usaha sawit di negara ini, termasuk oleh petani sawit yang dibina oleh berbagai kalangan.
Adakah penggantinya?
Joko Supriyono menambahkan, tidak mudah menggantikan sawit sebagai sumber minyak nabati di dunia. Sumber minyak nabati sangat terbatas. Oleh sebab itu, menghadapi serangan dan penolakan terhadap minyak sawit Indonesia, jawabannya adalah menunjukkan industri sawit di negeri ini sudah menjalankan prinsip usaha yang berkelanjutan (sustainability). Selain melakukan diplomasi ekonomi, minyak sawit Indonesia juga harus terus dipromosikan dan menjadi bagian dari negosiasi dagang.
Industri sawit di Indonesia sudah menerapkan prinsip keberlanjutan. Ada tujuh prinsip keberlanjutan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha sawit, antara lain patuh pada aturan, menerapkan praktik berkebun yang baik, serta pengelolaan lingkungan dan sumber daya yang baik. ”Jika tidak ada minyak sawit, dunia mau memakai minyak nabati apa?” tanya Joko. Oleh karena itu, siapa pun yang bergerak melakukan diplomasi sawit harus memastikan bahwa industri sawit di negara ini benar-benar sudah menerapkan prinsip dan langkah keberlanjutan.
Joko mengingatkan pula, Indonesia pernah menjadi negara penghasil gula terbesar di dunia. Bahkan, negeri ini pernah mengekspor gula tebu. Namun, karena belum menjalankan prinsip usaha yang berkelanjutan, justru kini Indonesia kekurangan gula tebu. Kondisi itu diperburuk dengan kegaduhan yang juga sering terjadi terkait industri gula dan tebu di negeri ini.
Saat ini, lanjut Joko, ada 170 negara yang mengimpor minyak sawit dari Indonesia. Konsumsi minyak sawit di dunia pun terus meningkat, sekitar 6 persen per tahun, sementara produksinya meningkat di bawah 6 persen per tahun. Minyak nabati yang lain belum bisa memenuhi kebutuhan warga dunia.
Tahun lalu, dalam masa pandemi Covid-19, ekspor minyak sawit dari Indonesia pun meningkat. Neraca perdagangan yang selama dua tahun terakhir selalu minus, pada tahun 2020 menjadi surplus. Minyak sawit memberikan kontribusi yang nyata dalam memperbaiki neraca perdagangan itu, sebab pada tahun lalu, papar Joko lagi, nilai ekspor minyak sawit meningkat dari sekitar 20,219 miliar dollar Amerika Serikat (AS) tahun 2019 menjadi 23,013 miliar dollar AS pada 2020.
Tumanggor menambahkan, kesuksesan diplomasi ekonomi, khususnya diplomasi sawit, bisa berhasil jika ada kerja sama antara pemerintah dan pihak pengusaha. Selain itu, kampanye industri sawit yang sudah menerapkan prinsip keberlanjutan perlu dilakukan di dalam negeri. Hingga saat ini masih ada saja warga, khususnya aktivis lembaga swadaya masyarakat, yang masih mempersoalkan industri sawit di Indonesia sehingga menimbulkan kegaduhan. Meskipun, warga dunia yang semakin memahami bahwa industri sawit di Indonesia sudah lebih baik juga semakin banyak.
Diingatkan oleh Dupito, yang juga Wakil Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), dalam melakukan diplomasi sawit, perlu penyesuaian, setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Diplomasi itu juga perlu melibatkan negara lain yang memiliki kepentingan yang sama dalam pengembangan minyak nabati dari sawit, seperti negara-negara di Asia Tenggara, yang mayoritas merupakan produsen kelapa sawit.
CPOPC juga melakukan kampanye positif untuk minyak sawit, memperluas keanggotaan, dan terus melakukan pendekatan ke berbagai negara. Apalagi, diperkirakan konsumsi minyak sawit ke depan akan terus meningkat, sesuai peningkatan jumlah penduduk di dunia ini.
Pada sesi kedua, yang dipandu Dr Bambang Susanto, mantan Konsul Jenderal Indonesia di Hamburg, Jerman, mantan Wakil Menteri Luar Negeri menuturkan, dalam situasi pandemi, banyak pemerintahan negara-negara di dunia ini yang memilih mengedepankan kepentingan rakyatnya dan melihat ke dalam. Tak terlalu memedulikan kepentingan negara lain. ”Hingga saat ini, diplomasi ekonomi Indonesia lebih cenderung fokus agar kesepakatan yang dibuat dapat dijalankan,” kata Achir. Dalam diplomasi ekonomi, pemerintah hanya sebagai fasilitator dan pelakunya adalah pelaku usaha. (Tri Agung K)
Sumber : Kompas.com