Pelaku industri berbahan baku kelapa sawit sedang menggencarkan pemanfaatan teknologi digital dan mahadata untuk menunjang bisnis. Optimalisasi itu diharapkan dapat menjadi landasan untuk merumuskan keputusan dalam mengembangkan industri.
Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk Santosa, Rabu (10/2/2021), mengatakan, perusahaan tengah menyelesaikan penerapan teknologi penelusur (tracker) dan aplikasi untuk perawatan peralatan produksi pada tahun ini. Perusahaan juga mengoptimalkan analisis mahadata dan kecerdasan buatan.
”Kami mengandalkan sumber daya manusia untuk mengolah data yang dapat berguna bagi proses-proses perbaikan dalam siklus bisnis,” tuturnya dalam acara bincang media secara daring di Jakarta.
Menurut Santosa, korporasi telah menerapkan digitalisasi dalam proses produksi dan bisnisnya sejak sebelum pandemi, mulai dari panen, pengangkutan, hingga pengolahan. Pemantauan terhadap proses tersebut berjalan secara tanpa jeda waktu (real time) karena menggunakan internet segala hal (internet of things).
Dengan berbagai skenario, PT Astra Agro Lestari merencanakan belanja modal sebesar Rp 1 triliun-Rp 1,5 triliun. Sebanyak Rp 700 miliar akan digunakan untuk perawatan tanaman yang belum menghasilkan dan peremajaan lahan, sedangkan Rp 300 miliar-Rp 400 miliar dialokasikan untuk perawatan rutin infrastruktur, pabrik, dan alat serta perumahan karyawan.
”Apabila ada sisa, perusahaan akan menggunakannya untuk penambahan kapasitas produksi,” katanya.
Berdasarkan informasi keterbukaan pada laman Bursa Efek Indonesia, pendapatan bersih PT Astra Agro Lestari Tbk per 30 September 2020 tercatat sebesar Rp 13,32 triliun atau naik dari posisi tahun sebelumnya yang senilai Rp 12,38 triliun.
”Kenaikan itu dipengaruhi oleh peningkatan harga minyak kelapa sawit di kancah global,” kata Santosa.
Sementara itu, Direktur Utama Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman menuturkan, BPDPKS tengah berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk mengomprehensifkan data perkebunan kelapa sawit.
”Selain titik koordinat, data tersebut mencakup pula usia tanaman untuk meninjau produktivitasnya dan petani kelapa sawit secara spesifik by name by address,” katanya dalam webinar ”Strategi Penguatan Kebijakan Pengelolaan Sawit secara Berkelanjutan”, Rabu.
Pungutan ekspor
Eddy juga menyebutkan, sepanjang 2020, BPDPKS telah menyalurkan Rp 28,01 triliun untuk 8,42 juta kiloliter biodiesel, khususnya dalam rangka penerapan B-30 (campuran bahan bakar biodiesel sebanyak 30 persen). Sepanjang 2015-2020, penyalurannya mencapai Rp 57,73 triliun untuk 23,8 juta kiloliter.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Gulat Medali Emas Manurung menyatakan, kebijakan B-30 menjaga pergerakan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani. Sebelum ada B-30, rata-rata harga TBS bergerak di rentang Rp 900-Rp 1.100 per kilogram (kg). Kini, harga TBS bergerak stabil di atas Rp 1.800 per kg.
Selain itu, dana peremajaan perkebunan kelapa sawit yang dikelola BPDPKS dari pungutan ekspor juga berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas. ”Saya berharap peremajaan turut mendongkrak daya saing perkebunan kelapa sawit rakyat,” ujarnya.
Sementara Santosa mengatakan, kendati tren harga minyak kelapa sawit meningkat, pelaku industri tidak dapat menikmati keuntungan yang tinggi. Hal itu salah satunya disebabkan oleh pengenaan pungutan ekspor secara progresif yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57 Tahun 2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan.
Namun, ia tidak keberatan dengan pengenaan pungutan ekspor tersebut. Alasannya, pungutan ekspor untuk biodiesel ini penting demi menjaga keseimbangan minyak nabati dunia.
”Kalau kebijakan biodiesel tersendat, suplai minyak nabati membanjiri pasar global sehingga harganya pun turun,” ujarnya.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta setiap pemangku kepentingan di sektor komoditas kelapa sawit, termasuk pelaku usaha dan petani, memperhatikan pentingnya pemenuhan aspek lingkungan dan keanekaragaman hayati. Aspek tersebut telah diimplementasikan pemerintah melalui sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dalam rangka mewujudkan industri sawit berkelanjutan.
”Hal ini akan menjadi senjata kita untuk menghadapi tantangan internasional yang menyoroti aspek keberlanjutan,” katanya. (M Paschalia Judith)
Sumber: Kompas.id