Tren kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) diperkirakan berlanjut hingga akhir 2022. Bagaimana efeknya terhadap kinerja emiten di sektor terkait?
Tren kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) bakal menjadi sentimen positif bagi emiten perkebunan untuk meningkatkan performa perusahaan.
Berdasarkan data dari Bursa Malaysia pada Rabu (6/10), harga CPO untuk kontrak Desember 2021 sempat mencapai rekor tertinggi pada 4.879 ringgit per ton sebelum tiba di harga setelmen 4.738 ringgit per ton.
Sementara itu, harga CPO berjangka kontrak pengiriman bulan Januari 2022 terpantau naik 130 poin ke 4.646 ringgit per ton setelah sempat mencapai titik tertingginya pada 4.780 ringgit per ton.
Adapun, harga CPO terus menanjak menyusul harga komoditas energi lainya seperti migas dan batu bara yang terus bullish.
Peningkatan permintaan CPO juga dipicu oleh penurunan bea masuk India, yang awalnya 10% menjadi 2,5% guna penyesuaian akan daya beli masyarakat India akan produk-produk olahan CPO.
Kendati begitu, Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetyo mengatakan pada 2022 mendatang permintaan CPO masih cukup dinamis. Sebab apabila harga komoditas energi utama lainnya mengalami penurunan maka permintaan CPO bisa saja turut berkurang.
Misalnya saja, lanjut Frankie, produksi nabati lainnya seperti kedelai mulai meningkat, maka bakal terjadi diversifikasi penggunaan minyak nabati selain CPO, khususnya di India.
“Namun bila harga komoditas energi masih tren bullish sampai tahun depan, dan faktor cuaca yang menekan produksi minyak nabati lain seperti kedelai dan jagung, maka permintaan CPO akan tetap tinggi yang bakal menopang harganya,” kata Frankie kepada Bisnis.
Kenaikan harga minyak kelapa sawit juga turut mengerek naiknya mayoritas saham emiten perkebunan. Hingga penutupan perdagangan Jumat (8/10), emiten PT PP London Sumatra Indonesia Tbk. (LSIP) mencatatkan penguatan 9,58% selama sepekan terakhir.
Menyusul dibelakangnya PT Dharma Satya Nusantara Tbk. (DSNG) dengan peningkatan harga saham sebesar 8,11%, PT Eagle Plight Plantations Tbk. (BWPT) sebesar 7,69%, PT Salim Ivomas Pratama Tbk. (SIMP) meningkat 5,96%, dan PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI) sebesar 0,25%.
Dari sisi harga saham, Frankie menilai bahwa saham emiten sektor sawit hingga akhir tahun masih cukup menarik, mengingat saham-saham sektor batu bara sudah lebih dulu reb. Diproyeksikan harga saham emiten-emiten sektor sawit akan menyusul reli saham emiten batu bara.
“Untuk rekomendasi saham boleh mempertimbangkan TBLA dengan target Rp 1.000 dan SIMP dengan target Rp600. Untuk saham-saham sawit lain seperti LSIP dan DSNG sudah cukup reb tinggi, boleh beli jika terjadi koreksi,” katanya.
Menurut Direktur Riset UOB Kay Hian Securibes Asean Leow Huey Chuen, kenaikan harga CPO bakal terus berlanjut setidaknya hingga kuartal I/2022.
“Untuk perkiraan setahun penuh 2022, kami memperkirakan harganya akan berkisar di 3.500 ringgit per ton dan 3,800 per ton,” ujarnya, dilansir dari The Star.
Dia menegaskan bahwa masih ada tantangan di industri CPO, termasuk kemungkinan kenaikan biaya-biaya dari potensi kenaikan pajak pekerja asing dan upah minimum serta kenaikan harga pupuk hingga biaya kepatuhan.
PROYEKSI KINERJA
Analis Samuel Sekuritas Indonesia Yosua Zisokhi mengatakan target harga CPO pada kisaran 3.500 – 3.800 ringgit Malaysia masih cukup konservatif. Pasalnya CPO merupakan komoditas yang harganya berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung permintaan dan pasokan.
“Sebenarnya harga CPO sudah mengalami kenaikan yang cukup signifikan sepanjang tahun ini, namun memang harga saham emiten-emiten CPO baru bergerak naik pada belakangan ini. Sepertinya ini dikarenakan baru adanya animo dari para investor untuk mengoleksi saham-saham CPO,” jelas Yosua.
Dia mengatakan dari sisi valuasi harga, dari tahun 2020 hingga tahun ini kinerja keuangan perusahaan penghasil CPO terhitung sudah sangat baik. Selanjutnya, untuk 2020, dari sisi harga jual CPO juga cukup baik karena diperlukan tetap berada di level tinggi.
“Tapi dari sisi volume, tidak ada perubahan berarti, karena implementasi moratorium lahan sawit yang diperkirakan masih akan dipertahankan oleh pemerintah. Jadi overall, dengan asumsi diatas, kinerja keuangan emiten-emiten sawit masih akan bertumbuh di tahun depan,” terangnya.
Untuk itu, dia masih merekomendasikan overweight untuk saham sektor CPO, dengan target harga untuk AALI di level Rpl2.300, LSIP Rpl.370, dan SSMS Rp1.200.
Analis CGS-CIMB Securities Malaysia Ivy Ng mengatakan untuk 2021 diperkirakan harga CPO akan bergerak rata-rata di posisi 3.700 ringgit per ton dan bergerak turun lagi ke kisaran 2.900 ringgit per ton pada 2023. “Atau bisa lebih rendah lagi ke 2.800 ringgit per ton,” ungkapnya.
Terkait produksi CPO di Malaysia, Leow menegaskan bahwa ada kemungkinan produksi di Sarawak bisa melampaui produksi di Sabah dan meng-gantikan posisinya sebagai wilayah produsen CPO terbesar di Malaysia.
“Di Sarawak, area yang ditanami sawit sudah melampaui Sabah pada 2017, dan produksi di Sarawak masih bertumbuh karena tanamannya masih muda. Sementara produksi di Sabah sudah menapai puncaknya pada 2014 dengan jumlah sampai 6 juta ton,” terangnya.
Leow Huey Chuen menye-butkan, pada 2020, Malaysia Timur sendiri sudah menyumbang 53% lahan sawit di seluruh Malaysia dan menyumbang 45% dari total pasokan CPO di Malaysia.
Berdasarkan keterangan Malaysian Palm Oil Council (MPOC) impor CPO ke China juga diperkirakan naik pada 2022 karena adanya kemungkinan perlambatan pertumbuhan produksi minyak kedelai.
“Melihat kebijakan terkini dari Pemerintah China, ada kemungkinan besar perlambatan pada produksi minyak kedelai. Dari tahun ini dan seterusnya, pertumbuhan pasokan minyak kedelai di China kemungkinan tidak akan bisa memenuhi permintaan yang ada, sehingga membuka jalan lebih besar untuk impor minyak sawit,” ujar Manager Regional MPOC Desmond Ng. (Asteria Desi)
Sumber: Bisnis Indonesia